Rabu, 19 Februari 2014

Dua Manusia yang Berkenalan dengan Sekolah




Masih ada di benakku sebuah pertanyaan.

“Sekolah apa ini?” tanyaku pelan dalam hati

Setiap pukul enam tepat, ayahku selalu mengatarkanku ke sekolah. Kau tau sendiri, aku bukan orang yang jago untuk bangun pagi. Jangankan solat subuh, mandi pun kadang-kadang. Aaaargh! Kenapa di dunia ini harus ada sekolah!

Itulah kemarahanku di pagi hari ketika ibu dengan segala cerewet dan bawelnya membangunkanku lalu menyuruhku untuk mandi dan sarapan. Menjijikannya perintah itu!


Sudah pukul 6 pagi. Mataku masih berkunang-kunang. Aku tidak mandi lagi untuk hari ini. Dingin. Beuur!

Mobil melaju kencang menuju arah sekolahku. Jaraknya memang tak jauh dari rumah tetapi ayah selalu ingin mengantarkanku. Padahal aku sudah besar, tak perlu diantar lagi. Itulah ayahku yang selalu saja memanjakanku. Menambah kemalasanku bersekolah.



Tiba di depan gerbang sekolah. Pelan-pelan aku buka jaket dan seperti biasa aku harus mencium tangan ini lagi . Tangan-tangan yang sudah tersedia secara otomatis. Aku tahu bahwa tangan-tangan itu pernah diciumi oleh jidat, pipi dan rambut teman-temanku. Kau tahu, berapa kuman yang telah menempel di punggung tangan mereka? Hmmm, sekolah ini ada seribu siswa, bro!

“Yaaaak!” menggelikan. Aku tertawa dalam hati.


Selesai melewati pasukan tangan, aku segera menuju kelas. Seperti biasa, seperti senin hingga jumat, seperti inilah pagi yang selalu sama. Robot-robot sudah berjalan-jalan di sekitarku. Aku duduk saja di depan kolam ikan untuk melihat kehidupannya yang terkurung oleh tembok-tembok semen yang dibuat manusia. 


“Kasihan sekali kamu, hidupmu hanya seluas ukuran kolam. Tapi, bersyukurlah, ikan! Kau tidak hidup di Citarum. Jika kau hidup disana, sungguh kau merugi, kau akan bertemu kotoran dan sampah. Bahkan kau akan terbawa ke daratan, pada akhirnya mati. Kau sungguh beruntung, ikan! Aku ingin menjadi sepertimu tapi tidak ingin berwajah sepertimu.”

“Eh, itu Kadis sedang apa sendirian di depan kolam?” tanya Anggraeni pada Nabila. Kebetulan mereka berdua teman sekelas Kadis.

Nggak tahu, bukannya kelakuan dia memang begitu!”

“Eh, iya juga sih. Kemarin aja dia tiba-tiba berlagak seperti robot saat jam istirahat tiba.”

“Nab, iya bener!”

“Kita deketin, yuk!” ajak Nabila

Anggraeni menolaknya. “Nggak, ah! Takut ketularan aneh!”

“Oalah, yaudah kita masuk kelas aja. Ntar juga normal lagi kayaknya. Tunggu aja sampai bel bunyi, pasti dia sadar. Hahaha!” 


Anggraeni dan Nabila memasuki kelas. Kadis masih asyik mengobrol dengan ikan-ikan yang senang berenang karena memang kodratnya hidup di air. Bukan kayak peramal yang seenaknya aja menentukan hidup manusia. “kamu cocoknya di air!” itulah kira-kira kata-kata yang sering diucapkan para peramal gadungan. Ya. Aku tahu itu!

Kadis bertahan disana.


“Teeeeeeet...teeeeeeeet...!”

beberapa waktu kemudian.

“AYO... SEKARANG BUKA ALQURANNYA. SILAKAN BUKA SURAT AL-IKHLAS” ujar suara yang keluar dari pengeras suara.

Semua siswa segera masuk kelas, sedangkan Kadis masih termangu.

“Hoi, hoi, Kadis! Kamu ngapain disini? Ayo cepat masuk!”

Kadis tidak bergerak sedikit pun. Duduk sila dengan tangan yang menopang dagunya. Seseorang memukul pundaknya Kadis. Dan apa yang terjadi. “Brukk!” Kadis terjatuh.

“Waduh, Kadis bangun! Kamu malah tidur, ya!” teriak seseorang yang membangunkan Kadis.

“Ampun...ampun...ampun...” Kadis menjawab. “Hei, sadar... sadar!”

Ternyata seseorang itu adalah Pak Jack. Beliau kebetulan menjadi guru piket yang senantiasa mengamankan keadaan di segala penjuru sekolah. 


“Pak, ada apa ini? Kok saya tiba-tiba disini?”

“Ah, kamu ini. Entah, kamu tadi tertidur disini. Ayo, sekarang ke kelas, baca Alquran! Sebentar lagi belajar mau dimulai nih.”

“Oh, gitu ya, pak!”



***



Anggraeni dan Nabila kini sedang asyik membaca surat Al-Ikhlas dan asmaul husna. Namun terhenti sejenak.

“Nab, Kadis kok nggak ke kelas?”

Lamyalid wa lam yu...ih, Eni! Ntar dulu ngomongin Kadis. Beresin dulu bacanya!” sontak Nabila.

“Biasanya kan Kadis suka masuk kalau sudah bel berbunyi. Aku takut terjaddi kenapa-kenapa sama Kadis. Soalnya...”

Nabila memotong. “Oooooh, kamu kok jadi mulai perhatian gitu sama Kadis! Jangan-jangan kamu naksir, ya? Hahaha.

“Wuss! Udah-udah, lanjutin bacanya!” jawab Anggraeni.

Dan kini Kadis dan Pak Jack sedang apa?



***


Tiba-tiba saja di pukul 7 ini setiap lorong yang menghubungkan kelas satu dengan kelas lainnya terasa sepi. Angin semilir datang dari berbagai arah memberikan kesejukan tersendiri bagi para guru yang mengajar di sekolah ini. Terkadang kenyamanan ini seringkali membuat para guru di sekolah ini sering mengantuk. Termasuk aku. Itulah aku, pak Jack. Aku masih mengobrol dengan Kadis.


Kenalkan, aku adalah guru yang baru 1 bulan mengajar di sekolah ini. Usiaku masih muda, 22 tahun. Sebenarnya aku kurang begitu tertarik untuk mengajar di sekolah ini. Jelas saja, aku bukan seorang guru, aku cuma seorang pelukis yang tiba-tiba masuk sekolah. Kau mungkin tahu, apa jadinya kalau seniman masuk sekolah dan ngajar lagi! Walah bisa gawat urusannya!


Namun, saat itu mengapa aku diangkat jadi guru di sekolah ini karena satu hal. Unik. Ya, unik. Itulah hal yang menyebabkanku diangkat menjadi guru disini. Entah, apa yang ada di pikiran kepala sekolah waktu itu. Yang jelas kira-kira begini ucapannya saat saya tiba-tiba di luar dugaan diangkat langsung menjadi guru.


“Jack, ibu berharap kamu bisa berkontribusi untuk sekolah ini. Sekolah ini memang mirip militer. Disini kedisiplinan sangat diutamakan. Apalagi kerapihan, itu sangat diwajibkan. Melihat kondisimu seperti saat ini, ibu berharap kamu bisa mengajar disini, di sekolah ini. Kau itu unik!”


“Tapi, bu. Sebentar! Mohon maaf, ibu tahu sendiri pakaian saya ini kumal dan sedikit bau. Terus tadi ibu katakan bahwa sekolah ini menomorsatukan kedisiplinan dan kerapihan. Itu kan bertolak belakang dengan keadaan saya saat ini. Jadi saya kira, ibu tidak bisa mengangkat saya adi guru. Dan lagi, saya ini belum punya pengalaman mengajar.”


“Ya, itu! Itu yang ibu harapkan!”

“Sudah, kau tidak usah banyak beralasan. Kau sekarang ibu angkat jadi guru di sekolah ini! Surat keputusannya bisa kamu ambil besok. Datanglah besok, ya, Pak Jack!”

“...” aku diam saja karena tak bisa menolaknya.


Sejak pertemuan itu akhirnya aku menjadi guru dengan tiba-tiba. Pokoknya bikin kaget jantung saja. Karena aku menyukai hal baru, maka aku jalani dengan senang dan gembira. Keesokan harinya saya segera menemui ibu kepala sekolah di ruangannya untuk mengambil surat keputusan. Belum kubuka surat itu, lalu aku buka sambil berjalan. Disana tertulis nama saya ditetapkan sebagai guru ... dan guru...Ya, aku ditetapkan sebagai guru bahasa Indonesia.

“APAAA? GURU BAHASA INDONESIA!”                 
                   

Bagaimana bisa, aku seorang pelukis mengajar sebagai guru bahasa Indonesia. Urusannya bisa makin kacau. Aku jadi berpikiran. Ini ibu kepala sekolah sudah aneh-aneh saja keputusannya. Kacau. Waduh. Jantungku semakin berdebar-debar. Aku mendekati tembok terhuyung-huyung hingga menabrak mading.

“JDUKK! AWWW!”


Kepalaku benjol. Siswa yang berada di dekatku sontak tertawa. Tawa mereka bikin aku kesal saja. Segeralah aku kembali ke ruangan kepala sekolah. Apa yang terjadi? Kepala sekolah tiba-tiba menghilang. Entah kemana. Jadi kayak adegan di teve-teve serial kolosal atau religi. Tiba-tiab menghilang. Aku pun tertawa di ruangannya.

“Heh, gandeng!”


“hah?” aku segera kabur dari ruangan. Pergi menuju gerbang sekolah dan pergi pulang. Di surat itu, aku sudah langsung harus mengajar keesokan harinya dan mencantumkan juga pakaian yang harus aku kenakan.

“Yah.. ya sudahlah! Aku jalani saja. Aku nggak enak kalau menolak tawaran jadi guru!”

Sambil mendengarkan Home - Michael Buble aku perlahan pulang dengan menggunakan angkutan umum jurusan Dago. Pulang alias go home.

***



Ya, sampai saat ini, selama sebulan tepatnya. Maksud dari ibu kepala sekolah untuk mengangkatku sebagai guru di sekolah ini belum aku temukan jawabannya. Mengangkat seorang pelukis menjadi guru adalah sebuah hal aneh dan belum aku sadari hingga kini. Tepat di hari ini, hari ketika aku menjadi guru piket dan bertemu seorang siswa. Siswa bernama Kadis. Kadis, siswa yang pagi ini sedang tertidur di depan kolam ikan. Hahaha, tertawalah aku di dalam hati.

“Siapa namamu?” tanyaku melanjutkan pertanyaan.

“Kadis, pak!”

“Kamu kelas berapa, kok bapak baru lihat?”

“Kelas 7, pak!”

“Lho kok, bapak baru lihat, ya? Bapak juga mengajar di kelas 7”

“Kelas 7 apa? Bapak ngajar di kelas 7 J sampai M”

“Saya di kelas 7 A, pak!”

“Oh, pantesan!”

“Melihat kamu, bapak sebenarnya ingin ketawa.”

“Ketawa aja, pak, sebelum dilarang”

“Hahahaha” Kami tertawa.

“Kamu ini unik!” ujar Pak Jack. 


Pak Jack lupa kalau sebulan yang lalu, ibu kepala sekolah menyebut dirinya unik juga. Tapi, nggak apa-apa.

“Kadis, kamu ini berbeda dari siswa lainnya. Siswa lain ketika bel masuk ke kelas dan membaca Alquran. Kamu malah di depan kolam sambil tidur.” Tambah pak Jack

“Aku sedang berpikir, pak!”

“Wowow, kamu bisa berpikir juga, ya?”

“Hahahaha” kami tertawa kembali.

“Eh, si bapak ketawa terus!”

“Kadis, hidup ini permainan. Nikmatilah, nak! Betul, kan?”

“Seratus persen setuju, pak!”

Jam di tangan Pak Jack sudah menunjukkan pukul 7.15. Kami masih disini, di depan kolam. Belum sempat bergerak.

“Kalian sedang apa, pak Jack? Kadis?”

Ternyata itu Ibu Kepala Sekolah!

“Waduh, Assalamualaikum, bu” salam kami berdua

“Waalaikumsalam!”

“Kadis, sayang. Ayo masuk ke kelas” perintah ibu kepala sekolah lembut.


Ibu kepala sekolah mengajakku berbincang sejenak sambil berjalan menuju depan aula sekolah. Aku dibuatnya canggung karena kharisma yang begitu tampak dari dalam dirinya.


“Pak Jack, itulah yang saya butuhkan di sekolah ini. DIALOG. Seseorang seperti bapak inilah yang dibutuhkan sekolah ini. Terlalu banyak guru yang begitu mengesampingkan dialog dengan siswa. Jangankan berdialog, guru disini terlalu sibuk dengan tugas-tugas yang diperintahkan kepada siswanya sehingga hilanglah kenikamatan dialog itu. Maka dari itu saya mengangkat bapak sebagai guru disini. Dan guru bahasa Indonesia pula. Agar bapak bisa leluasa berdialog dengan siswa. Memasuki ruangan dan dunia mereka. Bapak menyadarinya?”


“Terus terang, bu. Saya tidak menyadari apa-apa? Itu hanya reflek dari dalam diri saya. Entahlah, sebenarnya saya kurang begitu mengerti apa yang ibu sampaikan. Maaf, bu.”

“Tak apa, yang jelas kamu sudah melakukannya, pak”

“Selamat, ya, pak!”

“terus semangat”

Aku pun memejamkan mata sejenak. saat membuka, lagi-lagi ibu kepala sekolah hilang begitu saja. Hahaha, unik sekali kepala sekolah yang satu ini.

Lho! Kok saya jadi menyebut unik?

“Apa sih yang ibu bicarakan tadi? Jujur aku kurang mengerti?”



***



Kadis berlari dan lima meter menuju pintu kelas, ia berjalan pelan. Dia membuka pintu dan...

“Alhamdulillah, nggak ada gurunya” ujarku dalam hati.

Anggraeni refleks berteriak, “Kadis! Kamu kemana aja?”

Teman-teman yang lainnya bersorak, “Adeeeeeeeeeeeeuh! Hahay

“Adeuh, Anggraeni naksir Kadis ternyata!” kata Nabila.

Wajah Kadis memerah begitupun Anggraeni. Sepertinya di atas kepala mereka bunga-bunga mulai beterbangan. Namun kemesraan itu hanya sebentar karena tiba-tiba saja KM masuk kelas sambil membawa secarik kertas. Dengan nada agak bijaksana. Ya biasalah, KM secara gitu.

“Teman-teman, ibunya nggak bisa masuk! Ini ada tugas ngerjain LKS dari halaman 10 sampai 15. Dikumpulkan hari ini. Harus selesai katanya!”

Kadis pun tepok jidat.

“Yaaa, ampuuun!”

Begitupun dengan Anggraeni mulai mengikuti gaya Kadis. Ikut-ikutan tepok jidat.

“Yaa, ampuuun!”

Kayaknya mereka dua bakal jadi sepasang kekasih. Tapi baru kayaknya. Entahlah. Yang jelas mereka memiliki kesamaan. Selain sama-sama tepok jidat dan bilang “Yaa, ampuun!”, mereka sama-sama haru mengerjakan LKS hal 10-15 dan dikumpulkan dalam waktu yang sama juga.

Selamat buat Kadis dan Anggraeni.  Selamat bekerja! (kata-kata yang sering tertulis di lembar tugas)



Bandung Bukan Kota Babi, 06 Pebruari 2014

2 komentar:

  1. hahha..
    buat lagi ka jack. ini bagus..

    BalasHapus
  2. ohh pantesan, soalnya waktu bapa pertama masuk kelas aku, aku langsung kepikiran "ini orang lagi ngapain sih? perasaan sekarang jam pelajaran b.indo, tapi kenapa dia ngegambar mulu" heheh

    BalasHapus