Masih
ada di benakku sebuah pertanyaan.
“Sekolah
apa ini?” tanyaku pelan dalam hati
Setiap
pukul enam tepat, ayahku selalu mengatarkanku ke sekolah. Kau tau sendiri, aku
bukan orang yang jago untuk bangun pagi. Jangankan solat subuh, mandi pun
kadang-kadang. Aaaargh! Kenapa di
dunia ini harus ada sekolah!
Itulah
kemarahanku di pagi hari ketika ibu dengan segala cerewet dan bawelnya
membangunkanku lalu menyuruhku untuk mandi dan sarapan. Menjijikannya perintah
itu!
Sudah
pukul 6 pagi. Mataku masih berkunang-kunang. Aku tidak mandi lagi untuk hari
ini. Dingin. Beuur!
Mobil
melaju kencang menuju arah sekolahku. Jaraknya memang tak jauh dari rumah
tetapi ayah selalu ingin mengantarkanku. Padahal aku sudah besar, tak perlu
diantar lagi. Itulah ayahku yang selalu saja memanjakanku. Menambah kemalasanku
bersekolah.
Tiba
di depan gerbang sekolah. Pelan-pelan aku buka jaket dan seperti biasa aku
harus mencium tangan ini lagi . Tangan-tangan yang sudah tersedia secara
otomatis. Aku tahu bahwa tangan-tangan itu pernah diciumi oleh jidat, pipi dan
rambut teman-temanku. Kau tahu, berapa kuman yang telah menempel di punggung
tangan mereka? Hmmm, sekolah ini ada
seribu siswa, bro!
“Yaaaak!”
menggelikan. Aku tertawa dalam hati.
Selesai
melewati pasukan tangan, aku segera menuju kelas. Seperti biasa, seperti senin
hingga jumat, seperti inilah pagi yang selalu sama. Robot-robot sudah
berjalan-jalan di sekitarku. Aku duduk saja di depan kolam ikan untuk melihat
kehidupannya yang terkurung oleh tembok-tembok semen yang dibuat manusia.
“Kasihan
sekali kamu, hidupmu hanya seluas ukuran kolam. Tapi, bersyukurlah, ikan! Kau
tidak hidup di Citarum. Jika kau hidup disana, sungguh kau merugi, kau akan
bertemu kotoran dan sampah. Bahkan kau akan terbawa ke daratan, pada akhirnya
mati. Kau sungguh beruntung, ikan! Aku ingin menjadi sepertimu tapi tidak ingin
berwajah sepertimu.”
“Eh,
itu Kadis sedang apa sendirian di depan kolam?” tanya Anggraeni pada Nabila.
Kebetulan mereka berdua teman sekelas Kadis.
“Nggak tahu, bukannya kelakuan dia memang
begitu!”
“Eh,
iya juga sih. Kemarin aja dia tiba-tiba berlagak seperti robot saat jam
istirahat tiba.”
“Nab,
iya bener!”
“Kita
deketin, yuk!” ajak Nabila
Anggraeni
menolaknya. “Nggak, ah! Takut
ketularan aneh!”
“Oalah,
yaudah kita masuk kelas aja. Ntar juga normal lagi kayaknya. Tunggu aja sampai
bel bunyi, pasti dia sadar. Hahaha!”
Anggraeni
dan Nabila memasuki kelas. Kadis masih asyik mengobrol dengan ikan-ikan yang
senang berenang karena memang kodratnya hidup di air. Bukan kayak peramal yang
seenaknya aja menentukan hidup manusia. “kamu cocoknya di air!” itulah
kira-kira kata-kata yang sering diucapkan para peramal gadungan. Ya. Aku tahu
itu!
Kadis
bertahan disana.
“Teeeeeeet...teeeeeeeet...!”
beberapa
waktu kemudian.
“AYO...
SEKARANG BUKA ALQURANNYA. SILAKAN BUKA SURAT AL-IKHLAS” ujar suara yang keluar
dari pengeras suara.
Semua
siswa segera masuk kelas, sedangkan Kadis masih termangu.
“Hoi,
hoi, Kadis! Kamu ngapain disini? Ayo cepat masuk!”
Kadis
tidak bergerak sedikit pun. Duduk sila dengan tangan yang menopang dagunya.
Seseorang memukul pundaknya Kadis. Dan apa yang terjadi. “Brukk!” Kadis
terjatuh.
“Waduh,
Kadis bangun! Kamu malah tidur, ya!” teriak seseorang yang membangunkan Kadis.
“Ampun...ampun...ampun...”
Kadis menjawab. “Hei, sadar... sadar!”
Ternyata
seseorang itu adalah Pak Jack. Beliau kebetulan menjadi guru piket yang
senantiasa mengamankan keadaan di segala penjuru sekolah.
“Pak,
ada apa ini? Kok saya tiba-tiba disini?”
“Ah,
kamu ini. Entah, kamu tadi tertidur disini. Ayo, sekarang ke kelas, baca
Alquran! Sebentar lagi belajar mau dimulai nih.”
“Oh,
gitu ya, pak!”
***
Anggraeni
dan Nabila kini sedang asyik membaca surat Al-Ikhlas dan asmaul husna. Namun
terhenti sejenak.
“Nab,
Kadis kok nggak ke kelas?”
“Lamyalid wa lam yu...ih, Eni! Ntar dulu
ngomongin Kadis. Beresin dulu bacanya!” sontak Nabila.
“Biasanya
kan Kadis suka masuk kalau sudah bel berbunyi. Aku takut terjaddi kenapa-kenapa
sama Kadis. Soalnya...”
Nabila
memotong. “Oooooh, kamu kok jadi mulai perhatian gitu sama Kadis! Jangan-jangan
kamu naksir, ya? Hahaha.
“Wuss!
Udah-udah, lanjutin bacanya!” jawab Anggraeni.
Dan
kini Kadis dan Pak Jack sedang apa?
***
Tiba-tiba
saja di pukul 7 ini setiap lorong yang menghubungkan kelas satu dengan kelas
lainnya terasa sepi. Angin semilir datang dari berbagai arah memberikan
kesejukan tersendiri bagi para guru yang mengajar di sekolah ini. Terkadang
kenyamanan ini seringkali membuat para guru di sekolah ini sering mengantuk. Termasuk
aku. Itulah aku, pak Jack. Aku masih mengobrol dengan Kadis.
Kenalkan,
aku adalah guru yang baru 1 bulan mengajar di sekolah ini. Usiaku masih muda,
22 tahun. Sebenarnya aku kurang begitu tertarik untuk mengajar di sekolah ini.
Jelas saja, aku bukan seorang guru, aku cuma seorang pelukis yang tiba-tiba
masuk sekolah. Kau mungkin tahu, apa jadinya kalau seniman masuk sekolah dan
ngajar lagi! Walah bisa gawat urusannya!
Namun,
saat itu mengapa aku diangkat jadi guru di sekolah ini karena satu hal. Unik.
Ya, unik. Itulah hal yang menyebabkanku diangkat menjadi guru disini. Entah,
apa yang ada di pikiran kepala sekolah waktu itu. Yang jelas kira-kira begini
ucapannya saat saya tiba-tiba di luar dugaan diangkat langsung menjadi guru.
“Jack,
ibu berharap kamu bisa berkontribusi untuk sekolah ini. Sekolah ini memang
mirip militer. Disini kedisiplinan sangat diutamakan. Apalagi kerapihan, itu
sangat diwajibkan. Melihat kondisimu seperti saat ini, ibu berharap kamu bisa
mengajar disini, di sekolah ini. Kau itu unik!”
“Tapi,
bu. Sebentar! Mohon maaf, ibu tahu sendiri pakaian saya ini kumal dan sedikit
bau. Terus tadi ibu katakan bahwa sekolah ini menomorsatukan kedisiplinan dan
kerapihan. Itu kan bertolak belakang dengan keadaan saya saat ini. Jadi saya
kira, ibu tidak bisa mengangkat saya adi guru. Dan lagi, saya ini belum punya
pengalaman mengajar.”
“Ya,
itu! Itu yang ibu harapkan!”
“Sudah,
kau tidak usah banyak beralasan. Kau sekarang ibu angkat jadi guru di sekolah
ini! Surat keputusannya bisa kamu ambil besok. Datanglah besok, ya, Pak Jack!”
“...” aku diam saja karena tak bisa menolaknya.
Sejak pertemuan itu akhirnya aku menjadi guru
dengan tiba-tiba. Pokoknya bikin kaget jantung saja. Karena aku menyukai hal
baru, maka aku jalani dengan senang dan gembira. Keesokan harinya saya segera
menemui ibu kepala sekolah di ruangannya untuk mengambil surat keputusan. Belum
kubuka surat itu, lalu aku buka sambil berjalan. Disana tertulis nama saya
ditetapkan sebagai guru ... dan guru...Ya, aku ditetapkan sebagai guru bahasa
Indonesia.
“APAAA? GURU BAHASA INDONESIA!”
Bagaimana bisa, aku seorang pelukis mengajar
sebagai guru bahasa Indonesia. Urusannya bisa makin kacau. Aku jadi berpikiran.
Ini ibu kepala sekolah sudah aneh-aneh saja keputusannya. Kacau. Waduh. Jantungku
semakin berdebar-debar. Aku mendekati tembok terhuyung-huyung hingga menabrak
mading.
“JDUKK! AWWW!”
Kepalaku benjol. Siswa yang berada di dekatku
sontak tertawa. Tawa mereka bikin aku kesal saja. Segeralah aku kembali ke
ruangan kepala sekolah. Apa yang terjadi? Kepala sekolah tiba-tiba menghilang.
Entah kemana. Jadi kayak adegan di teve-teve serial kolosal atau religi.
Tiba-tiab menghilang. Aku pun tertawa di ruangannya.
“Heh, gandeng!”
“hah?” aku segera kabur dari ruangan. Pergi menuju
gerbang sekolah dan pergi pulang. Di surat itu, aku sudah langsung harus
mengajar keesokan harinya dan mencantumkan juga pakaian yang harus aku kenakan.
“Yah.. ya sudahlah! Aku jalani saja. Aku nggak enak kalau menolak tawaran jadi
guru!”
Sambil mendengarkan Home - Michael Buble aku perlahan pulang dengan menggunakan
angkutan umum jurusan Dago. Pulang alias go
home.
***
Ya, sampai saat ini, selama sebulan tepatnya.
Maksud dari ibu kepala sekolah untuk mengangkatku sebagai guru di sekolah ini belum
aku temukan jawabannya. Mengangkat seorang pelukis menjadi guru adalah sebuah
hal aneh dan belum aku sadari hingga kini. Tepat di hari ini, hari ketika aku
menjadi guru piket dan bertemu seorang siswa. Siswa bernama Kadis. Kadis, siswa
yang pagi ini sedang tertidur di depan kolam ikan. Hahaha, tertawalah aku di
dalam hati.
“Siapa namamu?” tanyaku melanjutkan pertanyaan.
“Kadis, pak!”
“Kamu kelas berapa, kok bapak baru lihat?”
“Kelas 7, pak!”
“Lho kok, bapak baru lihat, ya? Bapak juga
mengajar di kelas 7”
“Kelas 7 apa? Bapak ngajar di kelas 7 J sampai M”
“Saya di kelas 7 A, pak!”
“Oh, pantesan!”
“Melihat kamu, bapak sebenarnya ingin ketawa.”
“Ketawa aja, pak, sebelum dilarang”
“Hahahaha” Kami tertawa.
“Kamu ini unik!” ujar Pak Jack.
Pak Jack lupa kalau sebulan yang lalu, ibu kepala
sekolah menyebut dirinya unik juga. Tapi, nggak
apa-apa.
“Kadis, kamu ini berbeda dari siswa lainnya. Siswa
lain ketika bel masuk ke kelas dan membaca Alquran. Kamu malah di depan kolam
sambil tidur.” Tambah pak Jack
“Aku sedang berpikir, pak!”
“Wowow, kamu bisa berpikir juga, ya?”
“Hahahaha” kami tertawa kembali.
“Eh, si bapak ketawa terus!”
“Kadis, hidup ini permainan. Nikmatilah, nak!
Betul, kan?”
“Seratus persen setuju, pak!”
Jam di tangan Pak Jack sudah menunjukkan pukul
7.15. Kami masih disini, di depan kolam. Belum sempat bergerak.
“Kalian sedang apa, pak Jack? Kadis?”
Ternyata itu Ibu Kepala Sekolah!
“Waduh, Assalamualaikum, bu” salam kami berdua
“Waalaikumsalam!”
“Kadis,
sayang. Ayo masuk ke kelas” perintah ibu kepala sekolah lembut.
Ibu
kepala sekolah mengajakku berbincang sejenak sambil berjalan menuju depan aula
sekolah. Aku dibuatnya canggung karena kharisma yang begitu tampak dari dalam
dirinya.
“Pak
Jack, itulah yang saya butuhkan di sekolah ini. DIALOG. Seseorang seperti bapak
inilah yang dibutuhkan sekolah ini. Terlalu banyak guru yang begitu
mengesampingkan dialog dengan siswa. Jangankan berdialog, guru disini terlalu
sibuk dengan tugas-tugas yang diperintahkan kepada siswanya sehingga hilanglah
kenikamatan dialog itu. Maka dari itu saya mengangkat bapak sebagai guru
disini. Dan guru bahasa Indonesia pula. Agar bapak bisa leluasa berdialog
dengan siswa. Memasuki ruangan dan dunia mereka. Bapak menyadarinya?”
“Terus
terang, bu. Saya tidak menyadari apa-apa? Itu hanya reflek dari dalam diri saya.
Entahlah, sebenarnya saya kurang begitu mengerti apa yang ibu sampaikan. Maaf,
bu.”
“Tak
apa, yang jelas kamu sudah melakukannya, pak”
“Selamat,
ya, pak!”
“terus
semangat”
Aku
pun memejamkan mata sejenak. saat membuka, lagi-lagi ibu kepala sekolah hilang
begitu saja. Hahaha, unik sekali kepala sekolah yang satu ini.
Lho!
Kok saya jadi menyebut unik?
“Apa
sih yang ibu bicarakan tadi? Jujur aku kurang mengerti?”
***
Kadis
berlari dan lima meter menuju pintu kelas, ia berjalan pelan. Dia membuka pintu
dan...
“Alhamdulillah,
nggak ada gurunya” ujarku dalam hati.
Anggraeni
refleks berteriak, “Kadis! Kamu kemana aja?”
Teman-teman
yang lainnya bersorak, “Adeeeeeeeeeeeeuh!
Hahay”
“Adeuh,
Anggraeni naksir Kadis ternyata!” kata Nabila.
Wajah
Kadis memerah begitupun Anggraeni. Sepertinya di atas kepala mereka bunga-bunga
mulai beterbangan. Namun kemesraan itu hanya sebentar karena tiba-tiba saja KM
masuk kelas sambil membawa secarik kertas. Dengan nada agak bijaksana. Ya
biasalah, KM secara gitu.
“Teman-teman,
ibunya nggak bisa masuk! Ini ada
tugas ngerjain LKS dari halaman 10 sampai 15. Dikumpulkan hari ini. Harus
selesai katanya!”
Kadis
pun tepok jidat.
“Yaaa,
ampuuun!”
Begitupun
dengan Anggraeni mulai mengikuti gaya Kadis. Ikut-ikutan tepok jidat.
“Yaa,
ampuuun!”
Kayaknya
mereka dua bakal jadi sepasang kekasih. Tapi baru kayaknya. Entahlah. Yang
jelas mereka memiliki kesamaan. Selain sama-sama tepok jidat dan bilang “Yaa,
ampuun!”, mereka sama-sama haru mengerjakan LKS hal 10-15 dan dikumpulkan dalam
waktu yang sama juga.
Selamat
buat Kadis dan Anggraeni. Selamat
bekerja! (kata-kata yang sering tertulis di lembar tugas)
Bandung Bukan Kota Babi, 06
Pebruari 2014
hahha..
BalasHapusbuat lagi ka jack. ini bagus..
ohh pantesan, soalnya waktu bapa pertama masuk kelas aku, aku langsung kepikiran "ini orang lagi ngapain sih? perasaan sekarang jam pelajaran b.indo, tapi kenapa dia ngegambar mulu" heheh
BalasHapus