Pukul enam pagi seperti biasa aku selalu mengantarkan
koran. Namun, hari ini berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Senin ini, aku harus bergegas untuk mengikuti upacara
penerimaan para praktikan guru di SMPN 7 Bandung. Sebelum berangkat ke SMPN 7,
aku harus mengerjakan tugasku sebagai peloper koran pagi ini. Tanggungjawab ini
harus segera diselesaikan terlebih dahulu.
Pada awalnya, aku ingin berangkat ke sekolah
menggunakan angkutan umum dalam rangka mengatasi kemacetan. Ya, hitung-hitung
membantu program pemerintah. Setelah dihitung-hitung ternyata aku harus
mengejar waktu.
Dengan berat hati, akhirnya aku putuskan untuk
menggunakan sepeda motor merah miliki ayahku. Hmmm, Berangkatlah aku. Wiiiiiing!
Aku lihat jam di pergelangan tangan kiriku. Waw, tepat
pukul tujuh kurang lima belas menit. Itu tandanya lima belas menit lagi upacara
bendera akan segera dimulai. Tentu kita tahu bahwa setiap hari senin di sekolah
ini (SMPN 7 Bandung) selalu menyelenggarakan upacara bendera.
Laju motorku semakin kencang dan kencang. Dengan
perasaan yang campur aduk, akhirnya kau sampai di sekolah ini, ya, sekolah
peraih lencana Adiwiyata 2013, sekolah sobat bumi.
Luar biasa! Aku bersyukur bisa bertemu dan akan
menjadi warga sekolah ini walaupun hanya
beberapa bulan. Aku tersenyum.
Loh kok melamun! Perasaan senang campur aduk dengan perasaan
tegang. Jujur saja, pengalaman pertama selalu membuatku merasa was-was padahal
tidak ada yang mesti dirisaukan. Segeralah aku parkirkan motor merah ini.
Ngik-ngok!
Aku merasa asing di tempat ini. Hal yang paling
pertama kau cari adalah rombongan PPL dari UPI yang jumlahnya sekitar 19 orang.
“Pada dimana, ya?”
Aku langkahkan kaki menuju pendopo karena barusan aku
dapat telfon dari Eka, teman PPL pelajaran bahasa Indonesia. Sesampainya di
pendopo, aku perhatikan.
“Mana?” ujarku dalam hati.
Sorot mataku mencari mereka. Hmm, ternyata mereka
sendang berkumpul di ruang tamu sekolah. Aku mendekat dan
“Alhamdulillah
belum terlambat!”
Kami di ruang tamu ini berkumpul untuk menunggu
panggilan dari petugas upacara. Ketika sang protokoler membacakan perintah
amanat untuk pembina upacara, mulailah rombongan praktikan memasuki lapangan
upacara.
Cahaya pun mulai memasuki ruangan, pintu terbuka. Dari
situ aku bisa melihat para siswa berjajar dan berkumpul dalam satu massa untuk
mengikuti kegiatan upacara. Sebagian besar guru sudah berbaris rapi.
Aku ikuti saja laju angin dan berdiri tepat menghadap
barisan para siswa. Untuk menenangkan diri maka aku perhatikan setiap
gerak-gerik gaya siswa SMPN 7 ketika mengikuti upacara bendera. Sambil
menyoroti dan memahami suasana, amanat pembina upacara menyuguhkan suatu yang
menarik terutama bagi para siswa.
Menurutku, Bu Suryamah mencoba menanmkan nilai-nilai
kecintaan pada sekolah melalui upacar bendera ini. Apakah hal tersebut?
“Ya, anak-anak, mulai sekarang sekolah kita kedatangan
warga baru dari UPI sebagai praktikan PPL! Aplaus!” teriak kepala sekolah yang
satu ini.
Ya. “Aplaus” adalah kosakata yang menarik perhatianku
selama mengikuti upacara yang perdana ini di SMPN 7. Beberapa kali kepala
sekolah meneriakkan kepada siswa untuk melakukan aplaus sebagai tanda
penghargaan.
Ternyata siswa kelihatannya sudah terbiasa
mendengarkan “aplaus’ dari sang pemimpin sekolah ini. Saya pikir ini sudah
menjadi budaya yang ditanamkan Bu Suryamah. Bagus! Sangat menarik! Uwow!
“Silakan aplaus untuk tim robotik SMPN 7 Bandung!”
“Baik, aplaus untuk kita semua!”
“Aplaus untuk para teman kalian yang menjuarai
turnamen!”
“Aplaus!”
Hehe. Bagus! Sebagai guru bahasa Indonesia, aku jadi
penasaran, “apakah ‘aplaus’ sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia?” Ternyata
kosakata tersebut sudah diserap. Syukurlah!
Memang sih,
akhir-akhir ini saya sering mendengar kata aplaus terutama di acara televisi
yang sering senyum itu. Ya, goyang oplosan.
“Ok baik, aplaus sekali lagi! Asal jangan aplausan,
yah!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar