Hari pertamaku mengajar adalah hari selasa. Selasa
tanpa rokok tepatnya. Memangnya saya merokok? Ah, ini kan untuk siapapun warga
Bandung.
Seperti orang Indonesia di negeri Cina, aku menjadi
orang asing sekarang. Menjadi bule. Kebetulan guru asli bahasa Indonesia belum
pulang dari Srilanka, kabarnya. Sehingga hari ini jadwal mengajar belum
ditentukan. Kami bertiga bersama Eka dan Mutia masih ngawur kesana kemari. Diam
di perpustakaan dan sesekali berbincang dan basa basi. Ah, akhirnya panggilan
untuk para praktikan PPL untuk segera mengikuti taklimat awal di ruang guru.
Kami bersembilan belas melangkah ke sumber suara. Yow!
Kami memperkenalkan diri satu persatu di hadapan para guru SMPN 7 Bandung.
Tegang dan sedikit canggung.
“Salam kenal!” ujar kami
Selesai perkenalan itu saya berkenalan dengna bu Esih
dan bu Amay. Hmm, taklimat selesai tetapi kami belum selesai.
“Siapa yang mau ikut ibu?” ajak bu Amay yang
kelihatannya mau masuk ke kelas.
Kuputuskan untuk menerima ajakan bu Amay. Peluang awal
ini tidak aku sia-siakan. Bu Amay memberikanku tugas untuk mengetes pembacaan
berita untuk kelas 8C. Aku segera masuk saja dan ...
Belum aku buka pintu, riuh dari para siswa sudah mulai
terdengar. Aku pikir mereka akan begitu senang sekaligus kesal barangkali.
Mereka harus menerima seorang guru yang setelannya kayak aku gini. Sedikit selengean. Huaa...
“Waduh, ngapain
yah?” tanyaku dalam hati.
Sepertinya perkenalanlah yang pertama aku lakukan.
Biasa saja, perkenalan di awali dengan nama, tinggal dan bla...bla...bla...
“Sekarang giliran kalian, ya!” pintaku pada para siswa
“Siap, pak!”
Kelas ini cukup menarik dalam pandanganku walaupun di
kemudian hari ternyata kelas ini dicap buruk oleh teman-teman PPL begitupun
dengan guru di sekolah ini. Kelas yang ribut melulu; nggak bisa diatur dan lainnya. Bagi saya, kelas ini tidak demikian.
Hmm.
Totalnya ada empat puluh siswa. Banyak juga untuk
porsi satu kelas. Ideal jumlah siswa per kelas adalah 30 namun, kenyataan ini
sungguh harus diterima.
Aku mulai saja tes pembacaan pidatonya. Mulai. Satu
persatu aku panggil nama mereka. Mereka menampilkan sajian pembacaan beritanya.
Menarik. Kalau dilihat dari tujuan pembelajaran. Sebenarnya, apa fungsi
pelajaran ini? Apa benarn mereka semua harus bisa membaca berita? Atau hanya
sebatas mengalami saja, setidaknya mereka pernah mencoba membaca berita yang
barangkali di masa depan mereka bisa menggantikan Jeremy Teti. “Ke bogor...ke
Bogor...ke Bogor..Gor...”
Jadi sebenarnya belajar itu adalah susuganan? Iya gitu? Masa sih? Ingat perkataan kepala sekolah
kalau belajar itu perubahan dari yang bisa menjadi bisa. Pertanyaannya itu,
apakah siswa wajib menguasai semua pelajaran? Jika harus maka itu nonsense.
Balik lagi ke kelas. Judul tulisan ini kan wanita
misterius, tetapi mana yang berhubungan dengan wanita misterius? Tenang. Ini
baru mau dimulai.
Sewaktu aku memanggil siswa untuk membacakan berita
layaknya seorang pembaca berita, tiba-tiba saja bu Amay masuk dan memberikanku
lembar penilaian. Woalah!
“Rizki, ini lembar penilaiannya, tolong disampaikan
kepada siswa. Masing-masing siswa menilai penampilan temannya. Ok” pintanya
Dalam hati saya menjawab. “Waduh, ibu, kenapa tidak
dari awal! Ini sudah kagok soalnya. Tadi sudah ada yang tampil!”
Aku mengangguk mengiyakan saja. Pada akhirnya
pembacaan berita harus diulang. Beuh!
Yah, itulah
yang aku maksud wanita misterius. Tiba-tiba datang! Hohoho...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar