Dunia pendidikan semakin panas setiap harinya. Hal inti
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kebijakan pemerintah bisa
direalisasikan oleh setiap pemangku tugas mendidik para bunga bangsa Indonesia.
Bagaimana agar para pendidik di Negara ini dapat mengerti akan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintahan bidang Pendididan dan Kebudayaan. Pendidik di negeri
ini sudah terlalu kering dalam hal ihwal pengajaran di sebuah lembaga
pendidikan. Pemerintah pun dalam hal pembahasan pendidikan masih berkutat pada
kurikulum. Berkutat pada hal yang mendasar. Bahkan masih berkutat dalam usaha
pengubahan nama-nama saja. Melihat perkembangan dewasa ini, bukan tanpa kontradiksi, kurikulum 2013 yang
akan diusung ini penuh dengan kritikan. Penghilangan mata pelajaran Bahasa
Daerah menjadi sebuah bukti ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan kebijakan.
Publik tentu mengharapkan kebijakan yang diambil pemerintah berlandaskan
kebijaksanaan yang berasaskan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di masyarakat.
Kiranya memang jauh dari hal yang
demikian.
Kembali lagi, masalah
utama bukan pada ranah kurikulum, walaupun sebenarnya kurikulum menjadi
landasan pendidikan bagi negara ini. Masalah terutama yang perlu diketahui oleh
publik dalah hal ini yakni kegiatan menulis. Kegiatan menulis merupakan sebuah
kegiatan intelektual. Karena dengan kegiatan inilah sesungguh seseorang dapat
dikatakan maju secara pemikiran bahkan tindakan. Kegiatan menulis menjadi hal
yang sangat dekat (sesungguhnya) bagi rakyat Indonesia. Secara historis, kegiatan
menulis telah dilaksanakan berabad-abad yang lalu dengan produknya yaitu
prasasti dan tulisan-tulisan pada batu, kayu, dedaunan hingga kulit binatang.
Hal itu tentulah menjadi pemicu semangat tulis menulis. Dalam hal ini, sesungguhnya
pewarisan budaya menulis telah dilakukan manusia dahulu. Pertanyaannya,
kegiatan menulis seakan menjadi barang langka dan eksklusif. Melirik kembali
pada sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa Indonesia hanya menerbitkan buku
sekitar 2000 buku/ tahun dan tertinggal jauh oleh Amerika yang menerbitkan
10.000 buku/ tahun. Produk budaya inilah yang semestinya dipertahankan demi
mengusung Indonesia ke arah perubahan yang lebih maju dan cerdas.
Hal khusus ditujukan
pada sosok pendidik sebuah negeri, dialah guru. Guru wajib memiliki kemampuan menulis
di atas rata-rata. Dengan kemampuan itu, guru akan mampu menjadi teladan bagi
masyarakat maupun murid, sebagai pemegang filsafat Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun
karso, dan tut wuri handayani. Jadi, benarlah hal dominan terkait perubahan
di sebuah negera ditentukan oleh guru. Guru macam apakah yang akan bisa membawa
peradaban Indonesia ke arah yang lebih maju dan cerdas. Guru-guru yang selalu
hadir dan bermakna dimanapun manusia tinggal. Akan mampu memberikan bekas dan
kesan di setiap langkah dan arah tujuan. Guru semacam itu akan terus
meninggalkan karya seperti para penulis prasasti yang senantiasa mengabadikan
kecerdasan dan rasa syukurnya melalui media tulisan. Bagaimanapun juga harkat
dan martabat guru terletak pada sebuah karya. Karya inilah yang akan
mengabadikan guru menjadi sosok pahlawan yang digugu dan ditiru. Tentu dengan
nilai-nilai yang dianut bangsa ini.
Kemapuan menulis bukan
terjadi karena sebuah keterpaksaan atau kebetulan belaka. Kemampuan itu dilatih
dengan waktu yang relatif lama. Barang tentu kegiatan menulis mulai dikenalkan
sejak dini. Radikalnya, sejak bayi masih merah sekalipun.
Pemerintah dalam hal
ini sangat berperan penting. Apakah akan sangat mungkin pemerintah memberikan
kebijakan yang mengatur urusan
pendidikan usia dini yang lebih menekankan pada kualitas menulis masyarakat,
terutama anak-anak. Anak-anak perlu dijejali dengan kemampuan menulis. Bukankah
bangsa ini memimpikan suatu saat nanti akan muncul ilmuwan-ilmuwan kelas dunia.
Suatu saat nanti nobel fisika, nobel matematika, bahkan nobel sastra akan hadir
dengan nama-nama dari Indonesia. Mimpi-mimpi itu harus diperjuangkan untuk
kemajuan bangsa. Bangsa itu lahir dan maju dengan adanya regenerasi kekuasaan.
Kekuasaan di masa depan akan lahir dari hari ini. Anak-anak hari ini menentukan
masa depan sebuah negara.
Beberapa kelompok
independen melalui komunitasnya mengusung dan memperjuangkan kemajua menulis
melalui beberpa kegiatan-kegiatan non—profit. Dalam hal ini, kegaitan-kegitan menulis
yang dijalankan seakan-akan menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal dalam
hal peningkatan kemampuan menulisnya di masyarakat luas. Jika guru harus
melahirkan karya seperti yang dimimpikan sebagai sosok teladan. Apakah di kala
mahasiswa, guru tersebut telah menjadikan karya sebagai bukti intelektualnya.
Mahasiswa dipaksa menerbitkan jurnal, tetapi di masa sekolah dasar hingga
menengah atas mereka tak pernah berkenalan dengan jurnal itu sendiri. Jurnal
seakan-akan menjadi sebuah simbol intelektualitas saja. Tak ubahnya hal yang nonsense. Siapa yang sanggup mengganti
intelektualitas Ajip Rosidi dalam hal wawasan kesundaan. Tulisan-tulisannya
yang banyak telah menjadikan seorang Ajip Rosidi seorang Doktor Honoris Causa
dari Universitas Padjadjaran. Beliau mendapatkan gelar karena pemikirannya yang
dituangkan melalui kegiatan menulis begitu menakjubkan. Ajip Rosidi bukanlah
produk kurikulum yang utuh, pendidikannya hanya sebatas tamatan SMA. Kegiatan menulis
menjadi satu-satunya bukti intelektualitas seseorang dalam bidang tertentu.
Disini, tergantung kita menyikapinya seperti apa. Melihat semua hal tadi,
seakan-akan dunia pendidikan berada dalam lingkaran setan yang terus menerus
menggerogoti poros kemajuan bangsa. Sejarah mengajarkan bangsa ini untuk terus
menancapkan kegiatan menulis sebagai sebuah budaya kebangsaan. Wahyu Tuhan
telah membuktikannya untuk masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar