Minggu, 14 April 2013

Sejarah Menulis Bangsa Indonesia


Dunia pendidikan semakin panas setiap harinya. Hal inti yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kebijakan pemerintah bisa direalisasikan oleh setiap pemangku tugas mendidik para bunga bangsa Indonesia. Bagaimana agar para pendidik di Negara ini dapat mengerti akan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan bidang Pendididan dan Kebudayaan. Pendidik di negeri ini sudah terlalu kering dalam hal ihwal pengajaran di sebuah lembaga pendidikan. Pemerintah pun dalam hal pembahasan pendidikan masih berkutat pada kurikulum. Berkutat pada hal yang mendasar. Bahkan masih berkutat dalam usaha pengubahan nama-nama saja. Melihat perkembangan dewasa ini,  bukan tanpa kontradiksi, kurikulum 2013 yang akan diusung ini penuh dengan kritikan. Penghilangan mata pelajaran Bahasa Daerah menjadi sebuah bukti ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan kebijakan. Publik tentu mengharapkan kebijakan yang diambil pemerintah berlandaskan kebijaksanaan yang berasaskan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di masyarakat.  Kiranya memang jauh dari hal yang demikian.
Kembali lagi, masalah utama bukan pada ranah kurikulum, walaupun sebenarnya kurikulum menjadi landasan pendidikan bagi negara ini. Masalah terutama yang perlu diketahui oleh publik dalah hal ini yakni kegiatan menulis. Kegiatan menulis merupakan sebuah kegiatan intelektual. Karena dengan kegiatan inilah sesungguh seseorang dapat dikatakan maju secara pemikiran bahkan tindakan. Kegiatan menulis menjadi hal yang sangat dekat (sesungguhnya) bagi rakyat Indonesia. Secara historis, kegiatan menulis telah dilaksanakan berabad-abad yang lalu dengan produknya yaitu prasasti dan tulisan-tulisan pada batu, kayu, dedaunan hingga kulit binatang. Hal itu tentulah menjadi pemicu semangat tulis menulis. Dalam hal ini, sesungguhnya pewarisan budaya menulis telah dilakukan manusia dahulu. Pertanyaannya, kegiatan menulis seakan menjadi barang langka dan eksklusif. Melirik kembali pada sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa Indonesia hanya menerbitkan buku sekitar 2000 buku/ tahun dan tertinggal jauh oleh Amerika yang menerbitkan 10.000 buku/ tahun. Produk budaya inilah yang semestinya dipertahankan demi mengusung Indonesia ke arah perubahan yang lebih maju dan cerdas.
Hal khusus ditujukan pada sosok pendidik sebuah negeri, dialah guru. Guru wajib memiliki kemampuan menulis di atas rata-rata. Dengan kemampuan itu, guru akan mampu menjadi teladan bagi masyarakat maupun murid, sebagai pemegang filsafat Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Jadi, benarlah hal dominan terkait perubahan di sebuah negera ditentukan oleh guru. Guru macam apakah yang akan bisa membawa peradaban Indonesia ke arah yang lebih maju dan cerdas. Guru-guru yang selalu hadir dan bermakna dimanapun manusia tinggal. Akan mampu memberikan bekas dan kesan di setiap langkah dan arah tujuan. Guru semacam itu akan terus meninggalkan karya seperti para penulis prasasti yang senantiasa mengabadikan kecerdasan dan rasa syukurnya melalui media tulisan. Bagaimanapun juga harkat dan martabat guru terletak pada sebuah karya. Karya inilah yang akan mengabadikan guru menjadi sosok pahlawan yang digugu dan ditiru. Tentu dengan nilai-nilai yang dianut bangsa ini.
Kemapuan menulis bukan terjadi karena sebuah keterpaksaan atau kebetulan belaka. Kemampuan itu dilatih dengan waktu yang relatif lama. Barang tentu kegiatan menulis mulai dikenalkan sejak dini. Radikalnya, sejak bayi masih merah sekalipun.
Pemerintah dalam hal ini sangat berperan penting. Apakah akan sangat mungkin pemerintah memberikan kebijakan yang mengatur urusan  pendidikan usia dini yang lebih menekankan pada kualitas menulis masyarakat, terutama anak-anak. Anak-anak perlu dijejali dengan kemampuan menulis. Bukankah bangsa ini memimpikan suatu saat nanti akan muncul ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Suatu saat nanti nobel fisika, nobel matematika, bahkan nobel sastra akan hadir dengan nama-nama dari Indonesia. Mimpi-mimpi itu harus diperjuangkan untuk kemajuan bangsa. Bangsa itu lahir dan maju dengan adanya regenerasi kekuasaan. Kekuasaan di masa depan akan lahir dari hari ini. Anak-anak hari ini menentukan masa depan sebuah negara.
Beberapa kelompok independen melalui komunitasnya mengusung dan memperjuangkan kemajua menulis melalui beberpa kegiatan-kegiatan non—profit. Dalam hal ini, kegaitan-kegitan menulis yang dijalankan seakan-akan menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal dalam hal peningkatan kemampuan menulisnya di masyarakat luas. Jika guru harus melahirkan karya seperti yang dimimpikan sebagai sosok teladan. Apakah di kala mahasiswa, guru tersebut telah menjadikan karya sebagai bukti intelektualnya. Mahasiswa dipaksa menerbitkan jurnal, tetapi di masa sekolah dasar hingga menengah atas mereka tak pernah berkenalan dengan jurnal itu sendiri. Jurnal seakan-akan menjadi sebuah simbol intelektualitas saja. Tak ubahnya hal yang nonsense. Siapa yang sanggup mengganti intelektualitas Ajip Rosidi dalam hal wawasan kesundaan. Tulisan-tulisannya yang banyak telah menjadikan seorang Ajip Rosidi seorang Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjadjaran. Beliau mendapatkan gelar karena pemikirannya yang dituangkan melalui kegiatan menulis begitu menakjubkan. Ajip Rosidi bukanlah produk kurikulum yang utuh, pendidikannya hanya sebatas tamatan SMA. Kegiatan menulis menjadi satu-satunya bukti intelektualitas seseorang dalam bidang tertentu. Disini, tergantung kita menyikapinya seperti apa. Melihat semua hal tadi, seakan-akan dunia pendidikan berada dalam lingkaran setan yang terus menerus menggerogoti poros kemajuan bangsa. Sejarah mengajarkan bangsa ini untuk terus menancapkan kegiatan menulis sebagai sebuah budaya kebangsaan. Wahyu Tuhan telah membuktikannya untuk masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar