oleh Rizki Zakaria
Inilah
lanjutan dari kisah yang lalu mengenai makhluk yang bernama pragmatik. Sekarang
makhluk itu sudah dapat kita kenali dengan melihat pada ciri-ciri yang melakat
pada diri si makhluk pragmatik. Dari keempat ciri itu yang lebih dominan
diketahui yakni dengan melihat ciri kedua, yakni tuturan (utterance). Tuturan
merupakan hasil kodifikasi dari yang namanya penutur (speaker) atau istilahnya
pembuat pesan. Hasil kodifikasi tadi kemudian disampaikan kepada si penerima
kode atau pesan, yakni si penerima (hearer). Nah ,tugas pendengar yakni
menerima dan menafsirkan kode yang dibuat oleh si penyampai pesan. Untuk
mengerti tuturan atau maksud si pembuat kode maka si penerima kode sangat
membutuhkan ciri pragmatik lainnya, yakni konteks. Konteks inilah dianggap sebagai
dewi penolong bagi si pendengar (hearer). Atas bantuan sang dewi penolong
inilah akhirnya penerima pesan dapat menangkap maksud yang disampaikan si
pemberi pesan (speaker) tadi.
Ciri – ciri
inilah yang dianggap menjadi ciri besar dari sosok makhluk yang bernama
pragmatik. Biasanya gambaran cirinya itu sangat mudah untuk dipahami. Di kelas
ini aku pun terhenyak sebentar karena merasa agak bingung untuk
menggambarkannya. Beberapa detik kemudian, sang guru tiba-tiba memberikan
penggambaran mengenai apa yang ingin aku sampaikan tadi. Wah, kebetulan sekali
menurutku. Aku pun tertawa dan bahagia.
Sang guru
dengan lantangnya menggambar situasi yang menjadi ciri khas atau bisa dibilang
inilah karakter dasar dari makhluk pragmatik ini.
“Coba
perhatikan, ini gambarannya!” ujar sang guru.
“Jika sebuah
amsal kita tarik ke dalam sebuah gambaran teori. Saya akan gambarkan bahwa
makhluk ini bercirikan adanya pembuat pesan (speaker). Pembuat pesan ini saya
ganti dengan sosok bernama manusia hidup. Nah, manusia hidup ini akan
menyampaikan sebuah pesan yang ditujukan kepada si penerima pesan (hearer),
penerima ini bernama manusia mati. Dari kejadian itu bisa dilihat adanya proses
membuat pesan (enkoding) yang dilakukan si pembuat pesan kepada si penerima
pesan (hearer). Nah proses penafsiran ini dinamakan proses dekoding. Tentu yang
ditafsirkan adalah maksud alias tuturan yang dibuat oleh si pembuat pesan. Jadi
gambaran jelasnya adalah
Manusia
hidup à”kamu mau ikut, gak?” à
Manusia mati
Pembuat
pesan Tuturan Penerima pesan
------------------------------------------------------------------------------à
konteks tuturan
Itulah
gambaran yang dipaparkan oleh sang guru kepada kami selaku penghamba ilmu.
Proses inilah yang menjadi karakter pragmatik. Pragmatik memiliki karakter yang
sama tetapi ada jenis-jenisnya. Makhluk ini masih memiliki perbedaan di dalam
persamaan status. Tiba-tiba sang guru berkelakar sejenak.
“Sudah
beres, ya?” sahut sang guru kepada sang murid. Sang murid tak ada yang
menjawab. Sang guru pun menggelengkan kepalanya dan berujar sebentar.“Ini yang
menafsirkan bagian bapak atau kalian?”. Heninghlah kelas dalam waktu yang
sebentar. Paparan selanjutnya akan aku
berikan di cerita selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar