Kamis, 28 Maret 2013

Gerakan PIPA dan Seni Rupa Tahun 1979


oleh Rizki Zakaria

Betapa senangnya penulis ketika selesai mengikuti sebuah seminar seni rupa yang diadakan di ITB, tepatnya di ruang seminar FSRD ITB. Seminar yang mengangkat tema sejarah seni rupa angkatan 70-80an ini sangat menarik. Hal ang menarik adalah terkait sejarah salahsatu gerakan seni rupa tahun 1970an dari Gendingan, Solo yang disebut dengan gerakan “Kepribadian apa”. Dengan alasan untuk dapat berkamuflase akhirnya nama gerakan terebut diganti menjadi PIPA. Di dalam katalog seninya pun menggunakan nama PIPA dan memberikan simbol pipa yang sebenarnya. Gerakan PIPA ini terdiri dari tujuh orang perupa yang diantaranya mengisi sebagai pembicara di seminar tersebut, antara lain Bonyong Munni Ardhi dan Mohammad Kholid. Para eksponen PIPA juga hadir dalam seminar dan sebagian ada ang hadir di area pekuburan. Kegiatannya yang dilakukan gerakan PIPA saat itu adalah berbagi informasi, diskusi masalah sosial hingga membahas isu mengenai seni (film, seni rupa, musik, dan lainnya yang berhubungan dengan musik). Seni telah membawa gerakan ini ke dalam sebuah ranah berkesenian yang bebas. Kala itu ketertekanan sosial dan politik tidak menghambat semangat berkesenian mereka.
Kedua pelaku sejarah ini memiliki cerita-cerita menarik saat bergiat menjadi pelaku seni pada masa awal-awal orde baru. Ketika suasana represif sosial dan situasi politik ang agak panas sedang mengerumuni kshidupan masarakat maupun lingkungan akademisi, termasuk di kampus. Mohammad Kholid kini bergiat menjadi redaktur seni budaya di majalah Tempo, sejak tahun 1979 ketika pada masanya beliau selalu menjadi bagian yang mengurusi humas dalam rangka meminta izin penyelenggaraan pameran. Tidak jarang beliau bersama kelompok PIPA mendapatkan teguran dari pihak berwajib terkait penyelenggaraan pameran. Baik masalah konten maupun pelaksanaannya.  Mohammad Kholid rasanya menjadi orang yang tidak pernah berkesenian secara utuh karena hal tadi.
Berbeda dengan Mohammad Kholid, Bonyong Munni Ardhi menjadi sosok sentral dalam pergerakan ini. Selain sebagai sosok ang dituakan, Bonyong menjadi penginspirasi bagi perkembangan seni di Indonesia terutama bagi perkembangan seni rupa modern ang mengarah pada seni instalasi. Keaktifan gerakan ini dalam berdiskusi sehingga sering melahirkan ide-ide baru, dewasa ini istilahnya yaitu out of the box. Ketika itu tahun 1979, seorang Bonyong melakukan sebuah gebrakan baru dalam dunia seni. Bonyong melakukan seni instalasi – padahal waktu itu seni yang dilakukakn Bonyong dianggap bukan seni oleh dosen seninya – di pantai Parang Tritis. Bonyong memasang line art cukup panjang melebihi ukuran 10 meter, membentang di pesisir pantai. Konsep karya itulah yang kemudian di akhir-akhir tahun 80an menjadi populer dengan sebutan seni instalasi. Karena gebrakan pemikiran itulah sebenarnya Bonyong dkk. Telah melakukan pembaruan dalam seni rupa, tepatnya sejarah seni rupa di Indonesia.
Gerakan PIPA ini merupakan sebuah gerakan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan seni di Indonesia. Kehadirannya di Bandung dan Yogyakarta menjadi bukti pengaruhnya di bidang seni rupa. Apalagi oga karta yang saat itu sedang dalam tahap pembentukan kota budaya menjadi basecamp pameran bagi gerakan PIPA ini. Contoh lain, di Bandung ketika seorang dewan mahasiswa ITB mengundang PIPA untuk pameran di kampus (walaupun gagal pameran) menjadi bukti keberpengaruhan gerakan PIPA bagi lingkungan seni di tahun 70-80an.
Penulis merasa dengan semangat yang ditularkan oleh gerakan ini setidaknya dapat menginspirasi kaum muda dalam berkesenian, terutama seni rupa. Ketertekanan lingkungan masa itu membuat kegiatan seni bagi gerkan PIPA ini semakin memanas dan karena terjepit akhirnya meledak. Pernah suatu saat ketika hendak menggelar pameran di Yogyakarta. Bonyong dkk. Dilarang menggelar pameran karena tidak ada izin dari kepolisian setempat. Akibatnya mereka tidak jadi pameran tetapi bukan diam saja. Bonyong dkk. Memberikan nampan makanan kepada polisi sebagai tanda terima kasih. Sang polisi membuka nampan yang tertutup tersebut. Ketika di buka terynata isinya dalah tai anjing. Sontak disitu kontra mulai terasa. Hal itu merupakan meledaknya jiwa bagi para pelaku seni dalam gerakan PIPA ini. 
Penulis mengutip kata-kata terakhir dari seorang penanya. Perawakannya besar dan berjenggot. Usianya cukup 50 tahun dengan pakaian kaos hitam bergambar dilapisi oleh rompi levis.
“Hiraukan dirimu sendiri dan pasti orang lain akan menghiraukanmu”. Kalimat pernyataan ini rasanya bisa menjadi hal yang baik untuk mengenang jasa gerakan PIPA ini. Setidaknya hal yang disuulkan penanya tersebut agar Bonyong dkk. Membuat sebuah buku biografi atau cerita sejarah. Cuma itu saja yang bisa menjadikan Bonyong dkk. Menjadi pelaku sejarah yang dikenal masayarakat setelahnya dan di masa yang akan datang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar