oleh Rizki Zakaria
Betapa
senangnya penulis ketika selesai mengikuti sebuah seminar seni rupa yang
diadakan di ITB, tepatnya di ruang seminar FSRD ITB. Seminar yang mengangkat
tema sejarah seni rupa angkatan 70-80an ini sangat menarik. Hal ang menarik
adalah terkait sejarah salahsatu gerakan seni rupa tahun 1970an dari Gendingan,
Solo yang disebut dengan gerakan “Kepribadian apa”. Dengan alasan untuk dapat
berkamuflase akhirnya nama gerakan terebut diganti menjadi PIPA. Di dalam
katalog seninya pun menggunakan nama PIPA dan memberikan simbol pipa yang
sebenarnya. Gerakan PIPA ini terdiri dari tujuh orang perupa yang diantaranya
mengisi sebagai pembicara di seminar tersebut, antara lain Bonyong Munni Ardhi
dan Mohammad Kholid. Para eksponen PIPA juga hadir dalam seminar dan sebagian
ada ang hadir di area pekuburan. Kegiatannya yang dilakukan gerakan PIPA saat
itu adalah berbagi informasi, diskusi masalah sosial hingga membahas isu
mengenai seni (film, seni rupa, musik, dan lainnya yang berhubungan dengan
musik). Seni telah membawa gerakan ini ke dalam sebuah ranah berkesenian yang
bebas. Kala itu ketertekanan sosial dan politik tidak menghambat semangat
berkesenian mereka.
Kedua pelaku
sejarah ini memiliki cerita-cerita menarik saat bergiat menjadi pelaku seni
pada masa awal-awal orde baru. Ketika suasana represif sosial dan situasi
politik ang agak panas sedang mengerumuni kshidupan masarakat maupun lingkungan
akademisi, termasuk di kampus. Mohammad Kholid kini bergiat menjadi redaktur
seni budaya di majalah Tempo, sejak tahun 1979 ketika pada masanya beliau
selalu menjadi bagian yang mengurusi humas dalam rangka meminta izin
penyelenggaraan pameran. Tidak jarang beliau bersama kelompok PIPA mendapatkan
teguran dari pihak berwajib terkait penyelenggaraan pameran. Baik masalah konten
maupun pelaksanaannya. Mohammad Kholid
rasanya menjadi orang yang tidak pernah berkesenian secara utuh karena hal
tadi.
Berbeda
dengan Mohammad Kholid, Bonyong Munni Ardhi menjadi sosok sentral dalam
pergerakan ini. Selain sebagai sosok ang dituakan, Bonyong menjadi
penginspirasi bagi perkembangan seni di Indonesia terutama bagi perkembangan
seni rupa modern ang mengarah pada seni instalasi. Keaktifan gerakan ini dalam
berdiskusi sehingga sering melahirkan ide-ide baru, dewasa ini istilahnya yaitu
out of the box. Ketika itu tahun
1979, seorang Bonyong melakukan sebuah gebrakan baru dalam dunia seni. Bonyong
melakukan seni instalasi – padahal waktu itu seni yang dilakukakn Bonyong
dianggap bukan seni oleh dosen seninya – di pantai Parang Tritis. Bonyong
memasang line art cukup panjang
melebihi ukuran 10 meter, membentang di pesisir pantai. Konsep karya itulah
yang kemudian di akhir-akhir tahun 80an menjadi populer dengan sebutan seni
instalasi. Karena gebrakan pemikiran itulah sebenarnya Bonyong dkk. Telah
melakukan pembaruan dalam seni rupa, tepatnya sejarah seni rupa di Indonesia.
Gerakan PIPA
ini merupakan sebuah gerakan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan seni di
Indonesia. Kehadirannya di Bandung dan Yogyakarta menjadi bukti pengaruhnya di
bidang seni rupa. Apalagi oga karta yang saat itu sedang dalam tahap
pembentukan kota budaya menjadi basecamp pameran bagi gerakan PIPA ini. Contoh
lain, di Bandung ketika seorang dewan mahasiswa ITB mengundang PIPA untuk
pameran di kampus (walaupun gagal pameran) menjadi bukti keberpengaruhan
gerakan PIPA bagi lingkungan seni di tahun 70-80an.
Penulis
merasa dengan semangat yang ditularkan oleh gerakan ini setidaknya dapat
menginspirasi kaum muda dalam berkesenian, terutama seni rupa. Ketertekanan
lingkungan masa itu membuat kegiatan seni bagi gerkan PIPA ini semakin memanas
dan karena terjepit akhirnya meledak. Pernah suatu saat ketika hendak menggelar
pameran di Yogyakarta. Bonyong dkk. Dilarang menggelar pameran karena tidak ada
izin dari kepolisian setempat. Akibatnya mereka tidak jadi pameran tetapi bukan
diam saja. Bonyong dkk. Memberikan nampan makanan kepada polisi sebagai tanda
terima kasih. Sang polisi membuka nampan yang tertutup tersebut. Ketika di buka
terynata isinya dalah tai anjing. Sontak disitu kontra mulai terasa. Hal itu
merupakan meledaknya jiwa bagi para pelaku seni dalam gerakan PIPA ini.
Penulis
mengutip kata-kata terakhir dari seorang penanya. Perawakannya besar dan
berjenggot. Usianya cukup 50 tahun dengan pakaian kaos hitam bergambar dilapisi
oleh rompi levis.
“Hiraukan
dirimu sendiri dan pasti orang lain akan menghiraukanmu”. Kalimat pernyataan
ini rasanya bisa menjadi hal yang baik untuk mengenang jasa gerakan PIPA ini.
Setidaknya hal yang disuulkan penanya tersebut agar Bonyong dkk. Membuat sebuah
buku biografi atau cerita sejarah. Cuma itu saja yang bisa menjadikan Bonyong
dkk. Menjadi pelaku sejarah yang dikenal masayarakat setelahnya dan di masa
yang akan datang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar