Pagi
ini aku hendak menulis sebuah artikel untuk dikirim ke salahsatu media massa
terkenal di negeri ini. Tulisan yang aku buat ini mengangkat tema tentang
pendidikan. Rasanya tema ini terlalu berat untuk diterbitkan ke permukaan,
walaupun aku belum yakin tulisan kini akan diterima di redaksi. Berteman
secangkir kopi hitam dan sebatang coklat, aku mulai mengetik satu persatu
huruf-huruf yang berceceran di bawah mataku. Entahlah, aku sendiri tak tahu apa
yang sedang aku tulis. Yang jelas ini masalah pendidikan. Pendidikan yang kata
orang-orang harus memiliki karakter. Ya. Tanpa karakter apalah artinya sekolah.
Aku mencoba bertanya pada Kiki.
“Kamu
percaya pada karakter?” tanyaku jelas. Sementara Kiki diam saja.
“Karakter
adalah yang mengubah pandangan sekolah-sekolah di negeri ini. Tahu kan?” emosi
bertambah.
“Aku
tak mau berdebat! karakter ? aku pikir dia akan membatasimu! “ jawab Kiki
“Dibatasi
menurutmu? Maksudmu pendidikan karakter di negeri ini akan membatasi
pandangan-pandangan tentang sekolah?”
“Bukan,
masyarakat akan dibingungkan dengan yang namanya “karakter”. Sebab sudah
menjadi hal baku, pendidikan karakter mengisi setiap unsur pelajaran. Kini
dengan digaungkan pendidikan karakter, masayarakat terutama sebagian para
pemangku pendidikan lebih tertekan pada kebingungan sosial (anomie). Kamu lihat
kan di jalan raya tadi. Aku saja melihat bagaimana spanduk-spanduk pinggir
jalan begitu ramai dengan iklan sekolah.
Yang membuatku semakin tertarik adalah menjamurnya sekolah-sekolah
‘asing’. “
“Oh,
iya. Saat aku membeli coklat, aku melihat spanduk iklan sekolah bertuliskan
“sekolah karakter”. Kemarin aku melihat juga yang seperti itu tetapi namanya
berbeda, kalau tidak salah “sekolah cerdas”. Yang aku herankan adalah sekolah
negeri nasibnya bagaimana ya?” aku semakin bertanya-tanya.
“Ki,
ada solusi? Menurutmu bagaimana?
“Aku
pikir ini akibat ketidakpahaman akan sebuah kebijakan yang terlalu dini untuk
dikembangkan. Para pemangku pendidikan sebagian besar sudah dibuat kebingungan
dengan hal “karakter”. Mau tidak mau mereka harus mengikuti ketidakseimbangan
ini.
“Begitu
ya? Berarti kita harus diam saja? Ah, nggak rame!”
Percakapan
mereka terhenti sejenak akibat laptop yang digunakan tiba-tiba mati. Ide-ide
yang hendak ditulis sementara waktu harus ditunda.
“Yah,
mati laptopnya!”
Aku
segera beranjak menuju ruang tamu. Sementara kopi dan coklat aku tinggalkan di
kamar bersama laptop yang mati.
“Ah,
nonton berita dulu. Siap tahu dapat inspirasi!”
Televisi
segera dinyalakan. Tetapi anehnya, televisi pun tak bisa dinyalakan. Suasana
rumah berubah menjadi mencekam, barang-barang yang dipajang di sudut-sudut
rumah seakan memandangiku yang kebingungan ini. Sendiri di tengah ruang tamu.
Hanya ada aku dan Kiki. Kau tahu siapa Kiki? Dia adalah buku catatanku. Hahaha.
Semuanya
mati. Aku pun menucurkan keringat dingin
lalu pergi ke luar rumah dan melihat di sekitar. Ternyata dari arah sampingku
seorang pria tua meneriaki sesuatu.
“Aliran...aliran...!”
ucap pria tua itu.
Aku
pun baru sadar kalau tadi itu bukan peristiwa mencekam. Ini adalah keduakalinya
aliran listrik di gang selalu dipadamkan. Aku lega sekali.
Kubang
Selatan, 4 Juli 2012
mantap si aa alus euy hehe
BalasHapus