Rabu, 15 Agustus 2012

Seseorang Yang Bertanya

oleh Rizki Zakaria

Pagi ini aku hendak menulis sebuah artikel untuk dikirim ke salahsatu media massa terkenal di negeri ini. Tulisan yang aku buat ini mengangkat tema tentang pendidikan. Rasanya tema ini terlalu berat untuk diterbitkan ke permukaan, walaupun aku belum yakin tulisan kini akan diterima di redaksi. Berteman secangkir kopi hitam dan sebatang coklat, aku mulai mengetik satu persatu huruf-huruf yang berceceran di bawah mataku. Entahlah, aku sendiri tak tahu apa yang sedang aku tulis. Yang jelas ini masalah pendidikan. Pendidikan yang kata orang-orang harus memiliki karakter. Ya. Tanpa karakter apalah artinya sekolah. Aku mencoba bertanya  pada Kiki.
“Kamu percaya pada karakter?” tanyaku jelas. Sementara Kiki diam saja.
“Karakter adalah yang mengubah pandangan sekolah-sekolah di negeri ini. Tahu kan?” emosi bertambah.
“Aku tak mau berdebat! karakter ? aku pikir dia akan membatasimu! “ jawab Kiki
“Dibatasi menurutmu? Maksudmu pendidikan karakter di negeri ini akan membatasi pandangan-pandangan tentang sekolah?”
“Bukan, masyarakat akan dibingungkan dengan yang namanya “karakter”. Sebab sudah menjadi hal baku, pendidikan karakter mengisi setiap unsur pelajaran. Kini dengan digaungkan pendidikan karakter, masayarakat terutama sebagian para pemangku pendidikan lebih tertekan pada kebingungan sosial (anomie). Kamu lihat kan di jalan raya tadi. Aku saja melihat bagaimana spanduk-spanduk pinggir jalan begitu ramai dengan iklan sekolah.  Yang membuatku semakin tertarik adalah menjamurnya sekolah-sekolah ‘asing’. “
“Oh, iya. Saat aku membeli coklat, aku melihat spanduk iklan sekolah bertuliskan “sekolah karakter”. Kemarin aku melihat juga yang seperti itu tetapi namanya berbeda, kalau tidak salah “sekolah cerdas”. Yang aku herankan adalah sekolah negeri nasibnya bagaimana ya?” aku semakin bertanya-tanya.
“Ki, ada solusi? Menurutmu bagaimana?
“Aku pikir ini akibat ketidakpahaman akan sebuah kebijakan yang terlalu dini untuk dikembangkan. Para pemangku pendidikan sebagian besar sudah dibuat kebingungan dengan hal “karakter”. Mau tidak mau mereka harus mengikuti ketidakseimbangan ini.
“Begitu ya? Berarti kita harus diam saja? Ah, nggak rame!”
Percakapan mereka terhenti sejenak akibat laptop yang digunakan tiba-tiba mati. Ide-ide yang hendak ditulis sementara waktu harus ditunda.
“Yah, mati laptopnya!”
Aku segera beranjak menuju ruang tamu. Sementara kopi dan coklat aku tinggalkan di kamar bersama laptop yang mati.
“Ah, nonton berita dulu. Siap tahu dapat inspirasi!”
Televisi segera dinyalakan. Tetapi anehnya, televisi pun tak bisa dinyalakan. Suasana rumah berubah menjadi mencekam, barang-barang yang dipajang di sudut-sudut rumah seakan memandangiku yang kebingungan ini. Sendiri di tengah ruang tamu. Hanya ada aku dan Kiki. Kau tahu siapa Kiki? Dia adalah buku catatanku. Hahaha.
Semuanya mati. Aku  pun menucurkan keringat dingin lalu pergi ke luar rumah dan melihat di sekitar. Ternyata dari arah sampingku seorang pria tua meneriaki sesuatu.
“Aliran...aliran...!” ucap pria tua itu.
Aku pun baru sadar kalau tadi itu bukan peristiwa mencekam. Ini adalah keduakalinya aliran listrik di gang selalu dipadamkan. Aku lega sekali.

Kubang Selatan, 4 Juli 2012

1 komentar: