Rabu, 15 Agustus 2012

Kisah Suatu Malam ?


oleh Rizki Zakaria

Hari sudah malam, tinggal aku tertidur untuk melemaskan jiwa raga yang telah lelah menempa diri tadi siang. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Makan menjadi sasaran utamaku kali ini, sejenak untuk menghilangkan rasa lelah yang tadi hinggap. Aku masih melihat kesibukan di rumah ini. Rumah yang setiap hari mencemaskan diriku, termasuk penghuninya.
Sengaja aku tatap televisi bersama adik mengejawantahkan cerita-cerita yang disajikan. Lucu. Cuma itu saja yang adikku inginkan. Yah, memang betul. Hanyalah kesenangan yang tumbuh dan dibuthkan untuk seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Dalam tahap perkembangan menuju pubertas. Adikku masih setia dengan tatapannya yang tajam menusukkan mata yang setiap kali dikeluhkan orangtua.
Orangtuaku kini telah lelah. Mereka baru saja pulang dari pasar untuk sekedar membelanjakan uang. Menanti hari eok untuk kembali berjuang dengan keramaiannya. Di pasar tempat mereka mencari keberkahan dari sebuah rizki. Aku ingin seali memberikan yang terbaik untuk usaha dan kerja keras mereka berdua. Tetapi yang aku rasakan kini hanyalah kekesalana yang diterima mereka.
Sudahlah, setiap kali aku menceritakan kisah dan hubungan ini ada rasa yang tak bisa aku sampaikan dengan huruf-huruf bersatu. Aku tak sanggup bila terus menyerukan kisah-kisah ini kepada kalian.
Suasana kemudian hening. Aktifitas berhenti bersamaan dengan detak jam yang terus memalamkan keadaan. Begitupun bulan yang bersinar di malam yang semakin larut.
Suara dari arah depan mengagetkanku. Suara itu bersumber dari seseorang yang hendak datang ke arahku. Beliau Bibiku, berjalan dengan santai layaknya seorang guru. Benar sekali. Ada hal yang tak biasa kali ini. Beliau membawa sebuah barang hitam yang tak biasa. Laptop dipegang dengan santai. Beliau berkata dan memberikan laptopnya kepadaku. Aku menjadi ingat dengan tugas-tugasku untuk membantu beliau dalam mengerjakan administrasi sekolah. Hmm.
“Beli laptop, bi imas?” sahutku.
“Iya, ki. Ini soalna mau PLPG jadi harus beli laptop. Guru-guru harus punya laptop kalau mau disertifikasi.” Jawabnya polos.
Mendengar penjelasan singkat itu aku kemudian berdiam sejenak. Entahlah apa yang “mereka” pikirkan terhadap bibiku (yang lainnya pun).
Kisah ini berakhir dengan tanda tanya yang lumayan besar.
12 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar