Jumat, 20 Januari 2012

Mendengar “Bom Waktu” yang Meledak di Jumat Siang

oleh Rizki Zakaria
Anak membutuhkan kegagalan dan kesalahan
-Rizki Zakaria-
Jumat siang ini saya merasa kesal sekaligus sedih Mengapa tidak, kejadian diawali dengan ketidakhadiran adikku setelah bada salat jumat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 1 siang. Ibuku cemas melihat keadaan ini karena pukul satu adikku harus segera pergi ke sekolah. Beliau segera bertanya pada teman-teman Febri. Namun alhasil tak ada jawaban yang pasti. Mendengar kabar seperti itu, sontak ibu menjadi sangat cemas. Ibu segera dengan lekas mencari Febri yang entah dimana dia berada. Tapi, kabarnya Febri pergi melaksakan ibadah salat jumat bersama temannya di mesjid Salman ITB sekaligus berjualan Koran. Saya sebagai kaka bukan tanpa kekhawatiran tetapi entah mengapa saya begitu ingin sekali menerapkan tanggungjawab seorang adik terhadap sekolahnya. Lagi-lagi sikap ini menjadi bumerang tersendiri bagi saya. Yang jelas saya ingin menegakkan tanggungjawab tetapi terkendala emosi dan mungkin semacam kekhawatiran tinggi yang diusung oleh orangtuaku. Kejadian ini begitu menggemparkan para tetangga, saya sedikit malu tetapi tak apalah. Biarlah orang hendak berkata apa tentang keluargaku, yang jelas inilah keluargaku yang penuh dengan keunkan dan tantangan tersendiri bagi saya pribadi jelasnya.
Belum cukup dengan sikap saya yang sedikit agak apatis denga keadaan. Ayahku yang senantiasa selalu bersikap layaknya “bom waktu” kini mencoba tenang dengan keadaan karena saya tahu beliau begitu pengertian dengan sikap yang saya ambil. Karena waktu semakin mendesak akhirnya tiba juga perintah ayahku untuk segera menyusul ke temapt tujuan dengan memerintahkan saya. Saya segera berangkat, di perjalanann saya mencoba tenang. Alhamdulillah, dengan hanya sekali perjalanan yang memakan waktu 5 menit, akhirnya kutemukan anak yang dicari itu, di adikku, Febri. Di bahu jalan saya melihat dia bersama tiga temannya sedang berjalan pulang. Entah apa yang terlintas dipikiranku bahwa saya mesti mebiarkan adikku untuk pulang dengan sendirinya. Bisa jadi karena keyakinanku tentang tanggungjawab. Terpaksalah saya meningglakannya tanpa menjemput dan menegur. Kubiarkan dia pulang dan saya pun pulang.
Berselang beberapa lama saya pulang dan menceritakan semuannya. Apa yang terjadi bukan sebuah ketenangan yang di dapat. Masalah semakin bertambah karena mungkin kekonyolanku membiarkan adikku pulang sendiri bersama temannya. Masalah satu belum selesai datang masalah ini. Lagi-lagi saya harus menerima kenyataan pahit ini. Terus terang saja, di balik itu semua tak ada rasa kebencian terhadap adik sendiri ataupun orangtua. Saya selaku anak ingin sekali memberikan pengajaran mengenai pola pendidikan yang selam ini saya pelajari dan saya kaji bersama teman-teman di luar rumah. Baik bersumber dari buku, teman, ataupun presentasi-presentasi mengenai pendidikan.
Akhirnya setelah menunggu lama, adikku pulang dengan dinginnya. Inilah yang menjadi kejadian lucu sekaligus sedih. Adikku dengan polosnya pulang ke raumah sedangkan orangtua disini begitu mencemaskan dirinya. Hahaha. Sangat lucu sekali. Menceritakan kejadian ini seperti mengulang sebuah peristiwa yang dulu pernah saya lakukan juga, tetapi konteksnya berbeda. Adik saya mencemaskan orangtua karena berjualan koran di mesjid Salman sedangkan saya mencemaskan orangtua karena bersembunyi di lemari. Lucu sekali. Inilah yang dinamakan kepolosan seorang anak. Datang dengan wajah polos, tiba-tiba ayah muncul sebagai bom waktu yang siap meledak. Duaaaaarrrrrrrrrrrrr. Dua kali pukulan pelan bersarang di bahu adik. Waw. Dengan cepat tanggap Febri menangis. Dengan cepat tanggap juga ibuku kini berubah menjadi pro terhadap adikku. Padahal tadi saat mencari beliau begitu kontra malah marah dengan Febri. Inilah kekuatan seorang ibu karena begitu sayangnya. Ibu memang marah dengan Febri tetapi bukan orangnya melainkan sikapnya. Sedangkan ayah pun demikian. Bukan tanpa sebab ayah melakukan itu semua.
Tugas seorang ayah begitu besar dalam membina anak-anaknya, termasuk saya sendiri. Saya bahkan merasa beruntung memiliki ayah seperti belaiau. Meskipun sikap saya sedikit agak tertutup di mata beliau. Mungkin ini bisa jadi orangtua yang tidak mengetahui rahasia anaknya sendiri. Sangat mencengangkan dalam dunia pendidikan. Aneh ya? Saya juga dari dulu ingin sekali keterbukaan itu terjadi tetapi rasa nya seperti ada raksaasa yang menghalangi itu semua. Semoga dengan tulisan ini bisa menjadi titk awal kebangkita hidup keterbukaan dalam keluarga. Selama ini menelisik hadits dan Alquran serta ilmu lainnya yang berhubungan dengan keluarga saya selalu tertegun memikirkannya. Keterbukaan kurang begitu menonjol dalam keluarga. Rasanya ingin sekali menangis. Hei. Jangan menangis. Orang yang cengeng hanya akan mendatangkan kepesimisan. Ingat. Oke.
Orangtua memang (tidak) selalu benar
Kembali ke permasalahan semula. Orangtua tidak bisa menyalahkan anak. Yang jelas lihatlah kembali diri sendiri. Karena inilah kunci pola pendidikan. Anak itu bukan tidak boleh melakukan kesalahan. Seperti diketahui, ibuku memiliki sindrom kekhawatiran, Yakni tingkat kekhawatiran dengan sesuatu yang dimilikinya sangat tinggi. Sehingga satu saja anggota keluarga yang telat pada waktunya maka refleks akan segera dicemaskan. Itulah ibuku. Penuh dengan rasa kekhawatiran. Sebagai anak, apalagi anak sulung. Saya merasa karakter ibu bukan tanpa alasan. Beberapa faktor selama saya ketahui telah membuat kecemasan ibu terus meningkat berjalan dengan perkembanganku. Sejak kecil ibu memang diberi sebauh karakter yang begitu cemas. Menurut sepengetahuan saya, karakter cemas itu - sindrom kekhawatiran – bisa datang karena tingkat kebahagiaan yang dan pengharapan yang tinggi terhadap anak-anaknnya, misalnya. Itu bisa menjadi salahsatu faktor dasar. Beranjak agak besar, saya dikejutkan dengan beberapa faktor-faktor yang membuat tingkat kecemasan itu semakin meningkat. Memang sejak kecil perilaku saya hampir sama dengan adikku kini.
Kisahku yang lucu
Sebuah kisah yang sampai saat ini belum bisa dilupakan. Ketika kejadian berawal di sebuah permainan petak umpet. Bersama teman-teman saya bermaian di rumah Andri, saudara sepupuku. Tak lama saya kena giliran untuk bersembunyi. Alhasil saya mencari tempat yang sulit untuk diketemukan. Ya. Lemari. Permainan pun berlangsung, aku segera menuju lemari dan masuk. Beberapa menit kemudian teman-temank telah sukses ada juga yang ketahuan. Tinggal satu orang lagi yang belum diketemukan, yakni saya sendiri. Menit berganti jam, merak di lar sepertinya sibuk mencari saya. Apa yang terjadi, saya terlelap karena udara begitu pengap.
Lantas mendengar ceritanya. Ibuku sontak harap-harap cemas menanggapi kejadian ini. Beliau dengan kecemasannya mencari hingga ke luar rumah padahal saat itu cuaca sedang hujan. Terus mencari dengan bertanya kepada teman-teman saya. Singkat cerita, tak lama pembantu saudara sepupuku seperti biasa akan menyimpan baju yang telah dilicin untuk segera disimpan ke lemari. Tepat sekali. Lemari yang dituju adalah tempat saya bersembunyi. Pembantu itu pun segera memasukkan baju-baju tetapi ternyata di dalam ada sesosok ank kecil sedang terlelap di lemari. Seluruh isi rumah gempar dengan penemuan ini. Ibuku sepertinya lemas. Ayahku yang juga ikut cemas dan mencari-cari ikut lega sekaligus marah – mungkin -.
Sekelumit kisah ini lagi-lagi belum bisa menjadi pelajaran bagi orangtuaku untuk dapat bersikap tenang dalam menghadapi sebuah persoalan, apalagi sikap dan karakter seorang anak. Anak merupakan bibit-bibit unggul, karena anak tidak aka nada yang gagal. Meskipun seorang yang cengeng ataupun bandel, tetapi anak-anak dalam fase sebuah perkembangan bisa dibentuk dengan sedemikian rupa. Anak-anak masa dimana fase golden age berada. Masa keemasan itu ada di masa anak-anak.
Kembali ke cerita tadi, saat itu dengan begitu cemas dan atas diketemukannya saya di lemari ayah dan ibuku segera memarahiku entah saya lupa mereka bicara apa yang jelas mereka begitu kesal. Dan lagi, pola pendidikan yang selama ini selalu diajarkan ayahku kepada teman-teman sejawat ataupun kerabat keluarga mengenai pendidikan dengan hukuman menjadi “kartu as” dalam mengajar anak. Saya mengerti, persepsi orang-orang dahulu itu denga memberikan pendidikan layaknya militer atau dengan hukuman berat dapat membuat kapok anak. Pandanganku pun demikian, saya tidak pernah menyalahkan persepsi seperti itu. Tetapi, sudah selayaknya sekarang kita ketahui bahwasanya pola pendidikan semacam itu hanya akan membuat kapok anak tetapi tidak akan mengembangkan psikologi anak. Dengan keberlangsungan pola seperti itu maka akan ada rasa tertekan atau sindrom ketakutan hingga berujung pada keminderan. Keminderan yang berlebihan pun masuk pada jurang pesimis hingga tahap kebekuan pikiran. Sebagai contoh mudah, apakah dengan memukul anak akan merasa kapok dengan pelanggarannya? Yang ada hanya memberi bekas luka pada tubuh. Bagaimana jika anak terus melakukan pelanggaran? Bukan tidak mungkin cacat perkembangan bisa terjadi. Saya tidak berharap demikian.
Alasan yang lain adanya kemungkinan salah penafsiran terhadap suatu hadits nabi mengenai pemberian hukuman bagi anak yang tidak salat. Memang dijelaskan dalam hadits tersebut bahwasanya anak yang telah mencapai umur 10 tahun apabila iidak melaksanakan salat maka wajib dipukul. Inikah dasar para orangtua dalam meberikan hukuman ataukah adaa dasar lain? Saya juga tidak tahu, mungkin sebagai ilmu tambahan saja bahwasanya hadits tersebut memang menyuruh memerbikan hukuman keada anak apabila tidak slat tetapi dalam onteks ini tidak berlebihan dalam meberikan pukulan. Tidakkah para orangtua mengetahui bahwasanya Rasulullah sangat mencintai anak kecil, sampai-sampai baginda Rasul melamakan sujud karena cucunya sedang berada di atas punggungnya. Subhanallah. Ini sebuah bukti penghormatan dan kasih sayang Rasul terhadap anak-anak.
Sebuah kreatifitas mendidik
Dari kisah-kisah di atas semoga bisa menjadi bahan pelajaran bagi para orangtua dan anak-anak etrutama mengenai pendidikan di keluarga. Penelitian dan teoeori yang telah berkembang membuktikan bahwasanya pendidikan informal atau kita sebut dengan pendidikan di keluarga sangat berperan besar terhadap perkembangan anak dibandingkan dengan pendidikan non formal dan formal, yakni lingkungan dan sekolah. Tetapi dalam proses pendidikan ini ketiga aspek tadi mesti saling menunjang sehingga dapat terbentuk sebuah segitiga emas pendidikan. Keluarga mendukung sekolah, pengajian, lingkungan, begitupun sebaliknya. Memang komunikasi itulah yang diperlukan.
Berbicara masalah keluarga, tidak dapat terlepas daripada karaker dan pola pendidikan orangtua terhadap anak. Beberapa faktor bisa menjadi pemicu pendidikan anak yang kurang baik. Faktor pertama, adalah karakter atau tabiat orangtua itu sendiri. Mengapa demikian, karakter keras orangtua sangat tidak mudah untuk dihindari karena tabiat tersebut sudah terlalu mengekang kehidupannya hingga menjelma sebagai sebuah momok menakutkan. Disinilah peran-peran pihak lian dalam menyiasati karakter orangtua semacam ini. Orangtua semacam ini juga harus bisa mensiasati agar tidak terpancing emosi dalam menanggapi sikap anak apabila melakukan sebuah pelanggaran. Jadi siasat yang diperlukan.
Kedua, karakter tertutup orangtua. Karakter orangtua yang tertutp juga atau pemalu kadang menjadi sebuah bencana besar bagi perkembangan anak. Atau bisa dibilang orangtua selal memanjakan anak. Karakter seperti ini pun malah mengakibatkan penjajahan di atas orangtua. Wah, bisa gawat. Jadi sikap yang harus dihadapi adalah kemampuan orangtua dalam menyiasati ini.
Ketiga, faktor pembiaran dari orangtua. Biasanya kejadian ini cukup jarang tetapi sering ditemukan. Peran pihak luarlah yang bisa meredam kekosongan pendidikan keluarga semacam ini.
Dari ketiga karakter tadi bisa ditarik kesimpulan bahwasanya karakter orangtua pun sangat memberikan peran terhadap perkembangan anak. Bukan tidak mungkin semua permasalah dan pendidikan anak tidak bisa terselesaikan. Memang mendidik anak butuh kera keras, baik tenaga maupun mental. Disitulah letak kasih sayang Allah datang. Orangtua memang diwajibkan sabar menghadapi seorang anak yang insya Allah dikemudian hari menjadi anak-anak yang sukses dan jenius. Lihat pada firman Allah surat Al-Insyirah ayat 5-6 disana sangat jelas sekali.
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç ÇÏÈ
5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sampai-sampai mengalami pengulangan bahwasanya sesuadah kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh betapa banyaknya rahmat dan pertolongan Allah itu. Hanya saja kita sebagai umatnya sering lalai menjalani dan sering merasa sedih dengan segala kekurangan.
Masya Allah, ketika seidh itulah Allah sangat senang dengan kita karena dengan kesusahsan dan kesedihan biasanya Allah sangat merindukan permohonan doa dari hamba-hamba-Nya. Subhanallah. Allah begitu baik terhadap kita semua.
Sebagai simpulan terakhir. Beberpa tips dan saran melakukan pendidikan anak, antara lain
1. Selalu rajin untuk mendoakan anak agar menjadi ribadi yang shaleh dan baik
2. Memberikan pola penghargaan dan hukuman
3. Pemberian hukuman mesti dilakukan dengan kadarnya
4. Tak ada lagi tindakana kekerasan dalam pendidikan anak
5. Konsen dalam meniliki minat dan bakat anak
6. Berilah pendidikan ketauhidan pada anak terutama fase golden age.
7. Sibukkan anak dengan berbgai macam aktivitas yang positif
Mungkin dari poin-poin di atas ada poin yang mesti dijelaskan, tetapi secara keseluruhan anak-anak tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Karena itulah psikologi perkembangan anak-anak usia golden age (6-12). Anak-anak usia golden age penuh dengan keingintahuan, penud dengan eksperimen, sudah sangat wajar apabila banyak kesalahan. Jadi hati-hati yah apabila anak bersalah pikirkan dahulu hukuman apa yang pantas diberikan. Salam pendidikan anak untuk seluruh keluarga di dunia.
20 Januari 2012
*Tulisan ini sebagai respons terhadap kejadian yang dialami penulis beberapa saat sebelum menulis. Saya Rizki Zakaria seorang lelaki berusia 19 tahun 9 hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar