Senin, 26 Desember 2011

Mengkaji Puisi, Mengkaji Batin Saya


oleh Rizki Zakaria*
“Anda kurang puas dengan teman anda, pada saat itulah anda butuh teman anda”
-Ma’mur Saadie-
Belajar kajian puisi bersama dosen kajian puisi yang bersahaja dan santai. Beliau bernama Ma’mur Saadie. Dengan gaya yang ramah dan baik hati membuat matakuliah kajian puisi seperti mengkaji diri sendiri untuk menyelami puisi.
Maksud dan tujuan mengikuti kuliah ini agar menjadikan mahasiswa menyenangi puisi pada akhirnya. Ma’mur mewajibkan kepadamahasiswasekurang-kurangnya pada akhir nanti dapat menyenangi dan menulis puisi.
Tidak terlepas dari konteks di atas, Mamur Saadie menyatakan pernyataan yang menggambarkan bahwasanya sepengatuahn beliau, banyak sekali para pengkaji puisi dimana-mana tetapi mereka mengkaji dengan buku tanpa hati dan perasaan. Padahal puisi itu sendiri lahir dari sebuah ide dan gagasan yang kemudian dirasakan kemudian dituliskan. Hal menarik dari pernyataan tersebut membuktikan bahwa karya sastra yang satu ini sangat membutuhkan batin dalam mengkajinya. Bukan saja dengan linguistik yang dimiliki.
Puisi Memberikan Pesan
Mamur Saadie menegaskan kepada kita semua sebagai calon-calon guru bahasa Indonesia masa depan, menyelami puisi seperti menyelami batin kita. Perlu dihadirkan perasaan dalam mengkaji ataupun menuliskannya. Nonsense apabila hanya ide atau gaagsan saja.
“Jangan membuat puisi jika hanya memiliki gagasan saja, buatlah puisi dengan merasakan gagasan tersebut” tandas Mamur Saadie dengan kepercayaan dirinya.
Menulis puisi pun diperlukan cara atau kita sebut metode puisi. Beliau menyebutkan diksi sebagai “raja metode”. Diksi memberikan kesan tersendiri dalam penulisan karya sastra. Sebuah kata dan pilihannya itu memiliki kesan tersendiri. Misalnya dalam pemilihan kata saya, aku, dan hamba. Di dalam pemilihan kata-kata tadi memiliki kesan tersendiri dalam pemilihannya hingga kemudian terbentuklah yang bernama kata konkret .
Kata konkret ini memvisualisasikan imajinasi pembaca sehingga mampu memasuki relung perasaan penulis dan pembacanya. Setelah kata konkret memasuki tahapan perasaan, kata konkret ditambahkan kembali kata-kata baru sehingga menegaskan dan meyakinkan perasaan yang dihadirkan.
Jelaslah dalam membuat sebuah karya sastra, terutama puisi mebutuhkan diksi yang cocok dan penggunaan dalam tulisan karya yang dibuat. Menulis puisi perlu latihan pemilihan kata-kata itu sehingga majas akan timbul.
Kebenaran ini sangat kontradiktif dengan realita yang hadir dalam proses pembelajaran puisi di sekolah-sekolah. Disana, pembelejaran majas begitu terkesan “berguna” padahal tidak sama sekali. Justru pembelajaran pemilihan kata (diksi), imaji, dan kata konkret lah yang diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah terutama dalam pembelajaran puisi. Begitulah pernyataan dan pandangan Mamur Saadie mengenai realita pendidikan bahasa Indonesia, terutama puisi di masyarakat Indonesia.
Puisi Sebuah Andil Perubahan
Kita semua mengetahui bagaimana pengaruh puisi bagi pembacanya. Tentu puisi yang terang yang dapat diterima hikmah dan amanat yang diberikan penyair. Transformasi pandangan dan pemikiran pun terkesan hadir dalam puisi. Pandangan subjektif saya sebagai penutup, puisi dan proses kreatif melatih kita untuk menghadirkan rasa dalam menulis puisi hingga pada implikasinya dapat memberikan kesan empati terhadap sekitar kita sebagai makhluk sosial. Menulis puisi pun melatih kita untuk menuju manusia pembelajara dan modal menuju tugas pokok yang dipaparkan Andrias Harefa yakni tri tugas, tanggungjwab, dan panggilan kemanusiaan. Begitulah kiranya yang saya dapatkan semoga bermanfaat.
Ya Allah, mudahkan dan berkahi lah pemahaman bagi orang yang membaca tulisan ini
*Penulis ingin berbagi dengan tulisan. Ini tulisan pada matakuliah akhir kajian Puisi. Hari ini Selasa (21/12) siang. Hari ini saya lemas karena baru merasakan tidur hanya dua jam. Semoga selalu begitu dengan ditambahkan ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar