Terluka
Sekarang, berjalan aku seorang
Terus berjalan, tanpa kupandang semua tujuan
Seperti elevator yang tak pernah rusak, terus melangkah
Dan orang – orang kuanggap binatang
Ku tak butuh semua pertolongan dari mereka
Sakit, kini ku mulai terjangkit benih kehancuran
Sakit, ku mulai merasa gerbang ampunan mulai tertutup katup – katup kehidupan
Sakit, semua kurasa sangat sakit sekali
Air telah bercampur racun kehidupan
Ku serahkan hanya kepada-Mu
Menanti bendera kuning, berkibar di penghujung gang kecil rumah
September 2010 : Rizki Zakaria
Sang Empunya Negara
Telah habis akal aku bertanya kepadanya
Tak ada jawab yang terdengar asli dan nyata
Jas hitam mewah berjejer di lapang
Ucap –ucap tak bermakna mengalir deras menghancurkan kerikil sungai
Bendungan pun roboh diterpanya
Kosong, sebuah realita negara
Sumpah serapah tak berguna terus bergema
Jeritan – jeritan tanya tak berharga tak tersapa
Tangis – tangis jiwa musnah atas kehendak si empunya cita
Itukah hanya fatamorgana kita, wahai negara?
Cuma sekedar mimpi belaka yang terasa nyata
Siap – siaplah wahai pendusta
Ucap bualmu akan menggulungmu ke dalam lembah kehinaan
September 2010 : Rizki Zakaria
Nona Manis Yang Ku Sayang
Semilir udara berlari –lari
Berhembus dingin menabrak pipi
Apakah yang kualami ini?
Tanda kekuasaan-Mu sengaja menghampiri
Gelak tawa beradu ucap
Tak sengaja kulihat dan kutatap
Oh nona manis yang kusayang
Bolehkah tanganmu kupegang?
Dering handphonemu terdengar kencang
Angin dingin menghembuskan rambutmu
Sungguh sedih bercampur senang perasaan
Tak apa meski kuharus pukul pintu
Oh nona kecilku
September 2010 : Rizki Zakaria
Aku Bangkit
Dukaku hampir membunuh mereka
Hingga kutemukan sinar harapan
Belajar dan berusaha aku bersama – sama
Semua berjalan hingga akhir kutemukan celah bahagia
Langkah mulai tergopoh – gopoh tapi selalu tak kurasa
Bak kura – kura berlari kencang
Dan tumbuhan dapat berjalan dengan tenang
Dukaku hilang entah apa yang menerjang
Pilu dan sendu kubuang entah kemana
Cukup sudah semua kenyataan tak berguna
September 2010 : Rizki Zakaria
Tak Mendengar
Bebas, petikan gitar. Menemani kebebasanku
Dan tangisan alam terus melaju
Dingin, panas, perasaan bercampur pilu
Celoteh sang ayah, gema di telinga
Kini adzan datang menghampiri
Ku terpaku menanti seperti tak meyakini
Seakan melodi berperang dengan hati nurani
Inilah misteri, kisah kosong tak berarti
Tuli, terdengar tak bersuara
Kata – kata tak yakin dihalau segera
Tuli, merobek gendang telinga
Parah, semua terjadi berkali - kali
September 2010 : Rizki Zakaria
Sajak Seorang Pedagang
Hujan, panas, dan sejuk semua indah
Berjalan memikul beban susah payah dilawan
Sebuah gang, Ingat setiap langkah nian
Tak…Tak…Tak… nyanyian indah tuan
Hei kawan, berdiri tegak disana anda
Lambai tangan nan sejuk membasuh pitam
Tiga lembar lima logam , tangan disapa digenggam
Sengaja, diam menghujam tunggu pelanggan
Senja datang, waktu menusuk malam
Tak kurasa banyak terkoyak
Handuk merah pergi ke persinggahan
Nikmat segera pulang kandang
September 2010 : Rizki Zakaria
Hadiah Dari Ibu
Gejolak hati, beradu dengan emosi
Ku terperangah, melihat apa yang terjadi
Mentari kembali memberikan sinar pagi sejati
Di ujung meja, laci pertama, hitam pekat
Niat apa disana, gembira datang bersapa
Itu kali datang satu tanda cita
Kotak suara bersuara nyaring, keras sekali
Kacau menjemput, tak ada ucap menanti
Rumah bergetar kekar, Tsunami datang menerjang dan pintu – pintu terus menggerutu
Itukah hadiah dari ibu itu?
Semua ucap senada kasih terhantar, ibu seorang
Semua kisah bersamamu, ibuku sayang
September 2010 : Rizki Zakaria
15 Januari
Tubuhku, Bernoda getah tanaman
Dibayang – bayang hitam kotoran
Cermin indah cintaku hilang musnah dirimu
Kisah indah tergores berbekas di kalbu
Tubuhku, bernoda getah tanaman
Pergi sayang, hilang cinta berbulan - bulan
Kau simpan cerita hina memalukan asa
Mati rasa ku berbuat, mati jiwa ku tersiksa
Cinta lain merebut sayang, ku termenung diam
Lenyap aku dibuat, sakit perasaan mendalam
Tergolek kaku , getah hitam mengganggu
Ini, 15 Januari hanya misteri kisah pilu
September 2010 : Rizki Zakaria
Langkah Kotor Provokator
Aku berlari, gunung es runtuh berhamburan
Aku berlari, hutan hujan hilang lenyap bagai termakan angan – angan
Aku berlari, Lautan biru kosong kekeringan
Aku berlari, Rumah – rumah hancur lebur hilang pemukiman
Aku diam, matahari kembali bersinar terang
Aku diam, kasih seorang kembali datang
Aku diam, semua indah rukun sejahtera
Aku diam, hewan tumbuhan memperlihatkan keindahannya
Dukaku datang menantang, naas seorang provokator
Aku bagai tak hidup dan tak mati ini
Hilang harapan, aku manusia kotor
Ini telah terjadi, aku sendiri ingin mati
Kisah menjijikan hidup, terpanggang waktu
Kegagahan dulu kini terbujur kaku
Kini rambutku mulai bermetamorfosis punah
Tangis menderu, sedia aku mencium tanah
September 2010 : Rizki zakaria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar